Friday, December 30, 2005

mY birthdaY

Ulang tahunku tahun ini kurayakan dengan pergi ke Stasiun Penelitian Petir di Tangkuban Perahu bersama orang-orang yang belum lama kukenal, jauh dari kampus, dari kuliah, dari praktikum, dari rutinitas yang membosankan.

Perjalanan tak sampai setengah jam dari jalan mobil, tapi cukup membuatku teler. Jalan mendaki licin setelah hujan malam sebelumnya, ditambah lagi terjal di beberapa tempat. Aku baru merasakan akibat tidak olah raga selama dua tahun terakhir: detak jantungku sampai terdengar berdentam-dentam di telinga.

Di sana, aku hanya ikut sana ikut sini, mendengarkan trainer berbicara ini itu. Hehe, kerja praktekku Juli-Agustus lalu tidak sepenuhnya sia-sia. Setidaknya aku cukup nyambung untuk masalah yang satu itu :D

Sunday, December 25, 2005

This Is Where I Belong

I hear the wind across the plain
A sound so strong - that calls my name
It's wild like the river - it's warm like the sun
Ya it's here - this is where I belong

Under the starry skies - where eagles have flown
This place is paradise - it's the place I call home

The moon on the mountains
The whisper through the trees
The waves on the water
Let nothing come between this and me

'Cause everything I want - is everything that's here
And when we're all together - there's nothing to fear

And wherever I wander - the one thing I've learnt
It's to here - I will always....always return


(lagu Bryan Adams)

mAngA

Dua tahun terakhir ini, aku hobi baca manga yang di-upload di server-server ftp di kampus. Saat ini, manga yang aku ikuti adalah One Piece, H2, Bleach, dan Perfect Girl Evolution.

One Piece. Very recommended! Bercerita tentang bajak laut. Gambarnya memang acak adul terutama saat pertarungan atau pertempuran, dijamin ada saat-saat pusing membedakan kepala dan kaki. Tetapi, aku menyukai semuanya dalam manga ini, cerita maupun tokohnya, they're cool and funny! Luffy sang kapten, Zoro si ahli pedang, Usopp yang suka merakit barang, Nami si navigator, Sanji si koki, Toni-toni Chopper yang pandai dalam ilmu pengobatan, dan Robin yang ahli sejarah. Dan, di antara semuanya, aku paling menyukai Luffy. Bukan karena sindrom tokoh utama, toh dalam manga ini semua orang adalah tokohnya. Luffy memang adalah orang terkuat dalam kapalnya, tetapi bukan itu yang membuatku suka padanya. Dia itu seorang yang berjuang sangat, sangat keras untuk mencapai tujuannya (asal bisa tercapai dengan mengalahkan lawannya dalam pertarungan :D). Dia akan melakukan apa yang menurutnya benar dan tak peduli apa kata orang lain. Apalagi kalau itu menyangkut teman-temannya, uwaa.... Aku sampai terharu dengan ending-nya chapter 390 :)

H2. Pembaca Natane pasti mengenali kekonyolan-kekonyolan khas si pengarang di sini. Kalaupun tidak, H2 tetap menarik. Bercerita tentang base-ball dengan bumbu roman, berbeda dengan dorama-nya yang lebih menonjolkan roman dengan setting base-ball. Seperti Shichimi dalam Natane, Kunimi Hiro adalah orang biasa dalam keseharian dan baru tampak kehebatannya dalam hal yang menjadi keahliannya. Entah kenapa, kalau dalam dorama, Kunimi Hiro jadi terkesan plin plan. Mungkin karena point of view-nya berbeda. Yah... aku lebih menyukai manga-nya sih....

Bleach. Aku membacanya mula-mula karena seorang temanku yang fans berat manga ini. Bercerita tentang Ichigo yang menjadi shinigami, pengirim roh-roh penasaran yang masih berkeliaran di bumi ke tempat yang seharusnya. Ichigo punya kekuatan yang sangat besar. Saking besarnya, dalam keadaan normal dimana kekuatan itu mencapai minimal, kekuatannya masih terasa oleh semua orang yang peka dan para roh, padahal seharusnya tidak. Cerita Bleach berkembang ke pertarungan dengan beberapa shinigami yang ambisius akan kekuatan. Untuk mendapatkan kekuatan itu, para shinigami ini bergabung dengan hollow, roh jahat. Sayangnya, hollow ini bukan hollow biasa, melainkan jenis hollow paling kuat yang aku lupa sebutannya. Namun, Ichigo pun menyimpan sesuatu dalam dirinya. Ada saat dimana dia sempat menjadi hollow!

Perfect Girl Evolution. Gambarnya memang tipikal komik cewek, tapi ceritanya ngocol. Bercerita tentang Sunako, siswi SMA yang alergi dengan hal-hal yang indah, termasuk orang, laki maupun perempuan. Ia bisa mimisan bahkan pingsan kalau berdekatan dengan 'radiant creature'. Ia tinggal di rumah bibinya yang menjadi tempat kos empat siswa SMA, satu sekolah dengan Sunako, yang dikisahkan paling tampan dan disukai banyak perempuan. Sang bibi yang jarang ada di rumah menawari anak-anak kosnya ini kos gratis asal mereka bisa menjadikan Sunako perempuan yang cantik dan anggun. Sukar melakukannya, karena Sunako sangat menyukai hal-hal yang suram dan gelap yang membuat keempat cowok ini stres karena seramnya, dan Sunako sendiri memang tak mau berubah. Penggambarannya kadang ekstrim, misalnya bunga-bunga langsung layu kalau Sunako lewat, orang-orang langsung merasa melihat hantu, pokoknya Sunako punya aura yang mengerikan. Namun, pada dasarnya dia itu gadis yang baik. Dia juga lebih bisa diandalkan untuk berkelahi ketimbang tiga dari empat anak kos bibinya.

Well, yeah... aku memang sedang ingin berbagi cerita tentang manga. Untuk saat ini, sekian dulu.

Wednesday, December 07, 2005

bRaveRy

"Tadi aku melihat pencopetan di angkot yang pake muntah tipuan," kata temanku pada suatu malam.
"Oya? Terus?"
Dan, berkisahlah dia. Bla bla bla...
"Lalu, apa yang kamu lakukan?"
"Nggak ada. Emangnya aku edan nekat nantang copet?"
"Orang-orang lain di angkot?"
"Mereka juga tahu, tapi juga diem."

Sampai saat ini aku masih belum memutuskan apa yang akan kulakukan jika menghadapi situasi semacam itu. Hm....

Saturday, November 12, 2005

human

Manusia, makhluk yang aneh. Makhluk yang kecil, tapi seringkali menunjukkan keangkuhan.

Belum lama ini aku nonton The Pianist. Rasanya seperti saat nonton Hotel Rwanda dan satu film lagi yang aku lupa judulnya (tentang kapal yang membawa budak-budak yang bukan dari benua Afrika -saat itu perdagangan budak asalkan berasal dari Afrika adalah hal yang legal).

Bagaimana bisa seorang manusia bisa menjadi makhluk yang jauh lebih menakutkan dari apapun bagi sesamanya? Bagaimana mungkin kesombongan dan kebencian mampu menghadirkan kekejaman seperti itu? Aku masih tak bisa dan tak akan pernah mau memahami.

Dan, untuk apa jauh-jauh melihat Perancis, Poso yang hanya terpisah jarak ratusan kilometer pun sedang terluka. Tanpa alasan yang jelas, jiwa demi jiwa tercerabut dari raganya. Seperti itu pun, bupatinya masih bisa mengatakan itu adalah "hal yang biasa"?! Duh... sejak kapan nurani tumpul oleh begitu banyaknya aksi kekerasan di negeri ini?

Thursday, October 20, 2005

Oil and gaS

Sehari setelah kenaikan harga BBM, penghuni kos sempat kelaparan. Gas LPG di kos habis. Dan, tidak ada stok gas LPG di pengecer. Dibatasi.

Wah....

Entah berapa hari setelah kenaikan harga BBM, seorang teman kos pulang dengan lesu. Katanya, "Harga bubur ayam PZ (menyebut nama seseorang-red) sekarang lebih mahal ketimbang panas (paket nasi-red) MD (menyebut simbol penjual burger yang sukses-red)."

Wah....

Tapi, tiga hari setelah kenaikan harga BBM, saya terlambat masuk kuliah jam 8. Berangkat dari rumah jam 7.45 dengan asumsi dosen terlambat 5-10 menit. Perjalanan ke kampus dengan angkot biasanya memakan waktu 20 menit, termasuk macet di Simpang. Hari itu, 40 menit saya habiskan di jalan karena antrian panjang mobil dari Pasar Simpang sampai dekat gang menuju rumah.

Jadi, siapa bilang orang Indonesia miskin?

Sunday, October 16, 2005

woRm

Ga enak jadi orang sakit. Kesel. Ga bisa ngapa-ngapain. Temen sakit? Kesel juga. Ga bisa diajak main.

Faiz kena sakit berat pagi ini. Aku langsung panik! Penyakitnya ga tanggung-tanggung, serangan brontok yang bikin heboh beberapa hari lalu. Gimana ga panik, draft proposal TA yang semalaman aku kerjakan ada di otaknya dan aku harus mengumpulkannya besok Senin!

Yep, sebenarnya media penularannya umum, flash disk! Entah kenapa pagi tadi aku enggan memeriksa isinya dengan seksama, padahal baru saja dibalikin teman dari komputer antah-berantah. Tanpa ba bi bu aku meng-klik folder tipuan dan... argh! Masuk ke My Documents! Damn! Pukul 6.45. Seperempat jam lagi kuliah yang aku sudah bolos dua kali dimulai. Tadinya berniat berangkat pagi-pagi karena belum mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan jam 10. Gara-gara ini, pikiranku langsung ruwet. Tugas, pikirkan belakangan. Urus komputer dulu sebentar. Aku punya file application yang katanya (!) mampu melawan sang brontok. Aku ambil file itu kemarin untuk obat komputer dua temanku yang sakit parah. Eh... malah aku duluan yang pakai :(
Dan, gagal! Damn! Duh, aku ga ada niat bolos untuk yang ketiga kalinya (biarpun aku paling ga suka sama dosen yang satu ini). Lagipula, kalau aku bolos, gimana caranya aku ngerjain tugas? Aku ga ngerti apa yang harus kulakukan dalam tugas ini!


Akhirnya kuputuskan. Ayo, kuliah! Hmph! Sampai di kelas, dengan kesal aku bercerita kepada teman semejaku. Tidak ada waktu memikirkan draft proposal TA. Harus mengerjakan tugas untuk jam 10. Jadi, aku melakukan tiga hal sekaligus: mencatat, bercerita, dan mengerjakan tugas.

Jam 10 kurang 10 menit. Tugas belum selesai. Bodo amat, yang penting ngumpulin. Cabut sebentar ke gedung TI. Balik lagi ke lab. Kuliah masih berlanjut. Malas masuk, bentar lagi juga kelar, akhirnya aku duduk saja di lobi, bertukar cerita dengan dua orang teman yang juga menunggu kuliah berikutnya dimulai. Uah... untung aku malas masuk! Aku mendapatkan tips praktis melawan sang penyakit jahanam. Tak perlu file-file aneh. Tak perlu antivirus yang ga bisa mendeteksi. Cukup melakukan 'akupunktur' dan... beres! Fuh... lega... tinggal delete file-file application 40 kB yang tersebar di mana-mana. Lalu, bersihkan flash disk kesayangan. Selesai. Aku terus mengingatkan diriku: lain kali jangan lupa lock flash disk kalau ga perlu nge-write! Cek dulu komputer dimana flash disk bakal dicolokin! Kalau sakit, lebih baik ga, terima kasih.


Oct 14, 2005
@Faiz's finally-recovered-brain

Monday, October 10, 2005

YesterdaY

Sebelum kemarin, entah sejak kapan, aku tak bisa merasakan nikmat semilir angin yang meniup tengkuk, atau hangat sinar mentari terasa oleh ribuan syaraf di kulit, atau merdu suara hujan mendesir di telinga. Sebelum kemarin, entah sejak kapan, aku harus menggerakkan kaki lebar-lebar dan cepat-cepat, seakan tanpanya waktu akan pergi meninggalkanku sendirian di sini. Otakku terus bekerja: setelah ini harus melakukan ini, lalu melakukan itu, .... Membuat kepalaku begitu berat, amat sangat berat. Jiwaku merasa tertekan, ragaku merasa kelelahan. Pada kondisi seperti itu, kekesalan-kekesalan kecil pada banyak orang hanya karena alasan yang sepele, terakumulasi. Seperti bom. Cukup dipicu sejentik api. Lalu meledak.

Kemarin, hari yang menyenangkan, hari yang terasa begitu panjang. Aku bisa berjalan santai, merasakan lagi sejuk oleh angin yang lembut, tak gerah dan panas oleh terik mentari siang hari. Tenang. Plong. Tak peduli pada apa yang dilakukan orang lain. Waktu menjadi sangat lambat, mengimbangi kecepatan langkahku. Malamnya, makan pizza bertopping beeforn (beef and corn) di Pizza Hut bersama teman kos. Bayar sendiri-sendiri. Rp 13 ribu habis sekali makan. Aku menyebutnya: memanjakan diri. Tak apalah.


Bandung, Oct 2, 2005
@Faiz's brain

Thursday, September 22, 2005

my CharaCter

"Mbak, kamu bikin jadwal sampai sejauh itu??"
"Ha?"

Di dinding kamarnya, terpasang timeline selama sebulan. Penuh dengan catatan-catatan kecil dalam kolom tanggal. Mirip organizer memang, tapi yang ini terlalu rinci. Dia -yang selalu bilang bahwa dia melankolis- memandangku aneh.

"Emangnya kamu nggak, May?"

Aku menggeleng. Dulu, waktu kecil, aku pernah mencoba membuat jadwal mingguan. tapi tidak pernah bertahan lama. Entah sejak kapan, akhirnya aku hanya berusaha mengingat apa yang harus kulakukan pada tanggal tertentu. Itu pun bisa berubah. Hm....

Beberapa bulan setelahnya, dengan teman kos yang lain...

"Dek, kayaknya kamu phlegma deh...," kata temanku ini.
"Ow, aku tahu kok..."
"Tapi, campurannya apa ya?"

Setelah berpikir sebentar...

"Kayaknya aku phlegma-phlegma deh."

Kami pun tertawa. Lalu, aku jadi penasaran. Benar juga, aku belum pernah menguji kepribadianku sendiri. Aku tahu pada dasarnya kepribadian manusia merupakan perpaduan antara koleris, sanguinis, phlegmatis, dan melankolis. Aku tahu aku phlegmatis hanya dengan mendengar temanku menyebutkan ciri-cirinya. Tapi, campurannya seperti apa?

Akhirnya, belum lama ini aku meminjam buku seorang teman dan mencoba menguji diriku sendiri. Hasilnya?

Yeah... jawabanku yang dulu itu ternyata benar, bahwa aku ini phlegma-phlegma :D Begini campurannya: 62,5% phlegmatis, 15% melankolis, 12,5% sanguinis, 10% koleris. Wow! Tadinya sih sempat mengira aku ini 100% phlegmatis, hehe....

Dalam buku itu pun dijelaskan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki setiap kepribadian. Ah, pada bagian phlegmatis, aku merasa aku sedang membaca tulisan tentang diriku dari seorang yang sangat mengenal jiwaku. Dulu sempat terpikir, perasaanku yang selalu mengambang ini jangan-jangan karena aku tidak mengenal diriku sendiri. Lalu, beberapa bulan terakhir ini aku mulai menerima diriku sendiri, dan akhirnya menyimpulkan bahwa sebenarnya aku sangat mengenal diriku sejak dulu. Setelah membaca buku itu, aku tahu aku benar.

Aku bukan orang yang cakap memimpin sebagaimana umumnya orang koleris. Aku bukan orang yang suka perhatian sebagaimana umumnya orang sanguinis. Aku juga bukan orang yang teratur dengan jadwal-jadwal sebagaimana umumnya orang melankolis. Aku ya aku, yang tingkat kelembamannya besar (hehe...), yang tidak menganggap penting sangat banyak hal (ada hal lain yang jauh lebih penting ketimbang itu!), yang paling benci dengan konflik (hm...).

Untuk satu dan lain hal, aku sedang berusaha mengurangi level ke-phlegmatis-anku. Tapi, memang susah ya... mengubah diri sendiri....

Secara umum, masing-masing kepribadian bisa digambarkan sebagai berikut:
1. koleris: kuat, berjiwa pemimpin, cepat dalam mengambil keputusan, tidak terlalu membutuhkan orang lain;
2. sanguinis: populer, ceria dan tak bisa diam, kekanak-kanakan, seorang pembicara yang baik;
3. phlegmatis: tenang, lembam, tidak menyukai konflik, seorang pendengar yang baik;
4. melankolis: teratur, sensitif, mendalam, menyukai kesendirian.

Sunday, September 18, 2005

forGotten thinGs

Sedang asik melakukan ini itu dengan komputerku tersayang, tiba-tiba... lho, lho, kok, pointernya mandeg. Bolak-balik mengganti posisi keyboard dan mouse yang sama-sama memakai port PS/2 -siapa tahu portnya yang rusak seperti yang terjadi pada port serialku, hiks. Eh, ternyata keyboard jalan terus. Em... berarti emang mouse-nya minta pensiun dini. Kalau yang beginian sih aku sudah siap mental karena mouse dan keyboardku satu paket 35 ribu, hehe, merek dari negeri antah-berantah. Sayangnya aku ga juga siap cadangan. Terpaksalah, selama pengetikan tulisan ini, mouse tidak digunakan.

Sering terpikir, karena sudah seringnya menggunakan sesuatu untuk mengerjakan sesuatu hal, sampai-sampai aku ga lagi yakin aku bisa mengerjakan hal yang sama tanpanya. Dari benda-benda kecil dan remeh, sampai benda-benda canggih temuan abad 20. Nah lho. Padahal simbah kita dulu cukup puas dengan lampu teplok.


Dan kadang aku lupa menghargai hal-hal kecil nan remeh itu. Padahal ga semua orang bisa memilikinya. Temanku berkisah semalam tentang salah satu dosennya. Kalau ga salah, mata kuliah Landscape. Atau yang semacam itu-lah....

"Nah, jadi, mata kuliah Landscape ini sebenarnya adalah mata kuliah gaya hidup," kata sang dosen, kurang lebih. "Lupakan tentang bunga-bunga, taman, pohon, kolam. Ini tentang air yang kita minum, udara yang kita hirup. Hayo, siapa yang tadi pagi ngguyur hasil hajat pake air bersih, ngacung!"

Dan ngacunglah mahasiswa sekelas.

"Kalian tahu nggak kalo banyak orang ga bisa dapet air bersih?! Lain kali jangan pake air bersih! Tampung itu air hujan untuk mengguyur dan mencuci. Sekarang, siapa di antara kalian yang merokok? Ayo, ngacung!"

Dan tidak ada yang ngacung.

"Ayo ngaku, yang jujur saya kasih bonus nilai..."

Dan ngacunglah beberapa mahasiswa.

"...ya... rentang A sampai E-lah..."

Kisah sampai di sini kami pun ngakak. Pasti para mahasiswa yang ngacung tadi membatin: damn!

Begitu pun dengan energi. Energi itu ada di mana-mana. Dunia ini adalah tentang energi. Semua makhluk adalah energi. Semua benda adalah energi. Materi dan antimateri itu energi. Energi itu kekal. Tak bisa hilang. Tak bisa diciptakan. Energi hanya bisa bertransformasi dari satu bentuk energi ke bentuk energi yang lain. Jadi inget novel Angels and Demons (atau Angel and Demon?), yang mendefinisikan tuhan sebagai energi, zat yang kekal sebagai sumber energi. Seorang temannya temanku, mengartikan santet sebagai pemindahan energi.

Karena ada di mana-mana, energi mestinya murah, bahkan bebas diambil. Yang membuat energi itu mahal adalah teknologi konversi energi sehingga energi itu bisa dimanfaatkan manusia (biasanya dalam bentuk energi listrik karena mudah dan praktis). Sumber energi listrik saat ini terutama adalah energi mekanik sebagai penggerak generator. Apapun yang bergerak, apapun yang energinya bisa digunakan untuk menggerakkan, itulah yang dipakai. Air, angin, gas, serta uap yang didapat dari air yang dipanaskan dengan membakar minyak bumi dan batu bara.

Dan bahan bakar fosil pun mulai habis. Benar kata dosenku, kita ga boleh terus-terusan membakar minyak hanya untuk mendapatkan listrik. Rugi. Mending semua minyak diolah menjadi BBM. Dan dosenku ini pun berkisah.

Di satu negara maju, sang perdana menteri bingung. Mau bikin pembangkit listrik tenaga nuklir diprotes, takut radiasi. Mau bikin yang lain diprotes juga, bising katanya. Akhirnya sang perdana menteri bertanya kepada salah satu LSM yang protes.

"Kita mau bikin A ga boleh, bikin B juga ga boleh. Bagaimana kita bisa dapat listrik?"

Dan yang ditanya pun menjawab dengan ringan.

"Lho, tinggal colokin aja ke stop kontak kan dapet itu listrik."

Hopo tumon. Saking majunya sampai semua orang di negara itu bisa mendapatkan listrik dengan mudah, malah ga tau kalau yang namanya energi listrik masih tidak bisa begitu saja diambil dari alam. Walah....


Monday, September 12, 2005

JONI's promise

Pukul 12.55, aku pergi ke kampus. Rencana sudah kurancang di otak. Pukul 13.00, rapat danus kulker. Tak peduli rapat selesai atau belum, pukul 14.00 aku akan menonton Janji Joni di LFM. Biasalah, nonton gratisan plus aku belum pernah menonton film ini, kesempatan yang tidak boleh dilewatkan.

Pukul 13.05, sampai himpunan. Lho, masih sepi. Mana yang mau rapat?

"Mana rapatnya?"
"Lho, emang ga dapet jarkom?"
"Ha? Jarkom apaan?"

Intinya, jadwal rapat diubah menjadi Senin pukul 17.00. Aih, mending aku meneruskan main Pharaoh di rumah. Baru pergi ke LFM.

"Terus sekarang mau ngapain? Pulang?"
"Mm, ga deh, tanggung. Aku mau nonton Janji Joni."
"Oya? Kita juga mau nonton."
"Ow? Ya udah, bareng aja deh."
"Sip. Bentar lagi kita ke sana."
"Lah? Kan mulainya jam 2."
"Kayaknya sih ntar bakal penuh. Kita dateng duluan aja."
"Hm. OK."

Pukul 13.40, kami pun ke LFM. Lho, lho, sepi. Tidak ada yang mau nonton, atau kami terlambat? Ah, itu ada teman di LFM.

"Yo, yang di dalam baru muter film apa? Bukan Janji Joni kan?"
"Oh, bukan. Masih yang film sebelumnya."
"Janji Joni mulai jam dua bukan?"
"Harusnya sih iya. Tapi film yang ini mulainya aja jam satu."
"Heh? Harusnya kan jam dua belas."
"Iya, makanya Janji Joni juga bakal telat."

Aku berpandang-pandangan dengan ketiga temanku yang lain. Telat satu jam ya?

"Gimana? Masih lama banget. Mau nunggu di sini atau ke mana dulu kek?"
"Ya udah, kita pergi aja. Jam setengah tiga kita balik ke sini."

Seorang temanku menyerah.

"Aku pulang aja deh."
"Lah, ga mau liat?"
"Males nunggunya."
"Hm, OK."

Dia pun pulang. Tinggal kami bertiga.

"Udah liat pasar seni?"
"Belum."
"Ke sana yuk. Aku belum liat juga."
"Yuk yuk."

Melihat-lihat Ganesha Art Festival yang sepi. Ada barang yang aku ingin punya, tapi males belinya. Mahal. Duitku ludes buat bayar telepon ke Jogja. Dari Skanda, kami ke Gelap Nyawang, terus motong ke Salman karena gerimis. Beli kue dan minum untuk cemilan nonton film, baru ke kampus lagi. Belum banyak menit yang terlewat dari pukul 14.00. Ah, HP-ku...

"Ya?"
"Kalian di mana?"
"Di Salman."
"Katanya mau nonton Janji Joni?"
"Iya, emang. Tapi kan mulainya telat. Kami jalan-jalan dulu."
"Terus kapan mau ke sini?"
"Ya ini baru mau ke sana."
"Oh... ya udah. Udah dulu ya."
"Yo."

Sampai di LFM, kami bertiga cuma bisa bengong. Hah?! Antriannya sudah sepanjang ini?! Ah, itu mereka teman-teman yang tadi kami ajakin nonton waktu di himpunan. Mereka nyengir melihat kami. Duh, cowok-cowok ini, tahu antri gini bukannya ikut ngantri malah duduk-duduk di sini....

"Udah sepanjang ini?!"

Temanku yang barusan meneleponku juga cuma cengengesan. Duh, parah juga antriannya. Padahal, filmnya aja masih lama mulainya. Ya sudah, akhirnya kami malah ikutan duduk. Ngobrol nggak karuan. Ah, antrian mulai bergerak. Entah jam berapa itu. Kami pun ikut antri setelah ekor antrian hampir mencapai kursi kami. Tapi....

"Empat orang lagi!"

Hah? Padahal kami bersepuluh. Plus hitung empat itu masih jauh dari kami.

"Ah, udah deh. Mending ke tempat T dan F yang tadi nemuin N. Kita liat apakah N masih kenal T atau ga."

Kami pun ke bagian belakang LFM. Apa namanya? Ah, aku sebut saja backstage. Ah, N dan T baru ngobrol. Itu dia F. F melihat kami dan berbisik senang.

"Gue udah kenalan sama N, lho! Udah foto bareng segala."
"Oya? N inget sama T atau tadi kenalan lagi?"
"Dia inget tampang, tapi lupa nama."

Aku ngakak. Kasihan amat. Makan tuh malu. Tapi salut juga buat T, malunya kan demi teman, hehe.... Ai ai, apa tuh? Ada TV menayangkan film. Janji Joni-kah? Ah, benar, ternyata disambung ke TV ini. Aku berpandang-pandangan dengan dua temanku yang tersisa.

"Gimana? Mau nonton di sini aja?"
"Mm..."

Temanku masih ragu. Lalu kami melihat beberapa orang sudah lesehan di depan TV, nonton. Akhirnya dia pun mengangguk. Kami bersiap lesehan. Melihat kami, seorang anak LFM pergi sebentar, balik-balik membawa empat kursi lipat.

"Nih, pakai ini saja."

Kemudian dia dan teman-temannya bolak-balik datang dan pergi membawakan kami kursi lipat. Jadilah, nonton bareng Janji Joni di backstage, hehe....

Yep, sekian cerita hari ini. Ini adalah kisah perjuangan kami untuk sekedar nonton Janji Joni gratisan di LFM, Sabtu (10/9). Ah, btw, Janji Joni katanya mau diputar lagi Minggu (11/9). Damn. Kenapa nggak bilang dari tadi?

Monday, September 05, 2005

mY hairCut

Rambut ini sudah diperliharanya selama dua tahun. Panjangnya hampir mencapai pinggang. Berkali orang menyuruhnya memotong rambutnya, berulang orang mengatakan rambutnya tak bagus jika dipanjangkan. Ia pun menyadarinya. Selain rambutnya yang tak lembut dan sukar diatur, ia pun tak rajin merawat rambut. Ia keramas hanya jika kulit kepalanya sudah gatal atau rambutnya telanjur lengket di tangannya. Namun, toh ia tetap bertahan. Ada alasan pribadi yang disimpannya dalam hati. Tak ada seorang pun mengetahuinya. Alasan yang bagi orang lain hanyalah alasan konyol, tapi sangat berarti baginya. Maka, ia tak pernah mengatakannya.

Tetapi, akhir-akhir ini ia berubah pikiran. Ia ingin memotong rambutnya. Lagi-lagi alasan pribadi yang hanya disimpannya dalam hati. Tapi, untuk yang satu ini bolehlah dibilang. Alasannya hanyalah karena alasan pribadinya memanjangkan rambut telah musnah. Ia tak punya lagi alasan pribadi untuk terus memanjangkan rambutnya. Maka ia pun menimbang-nimbang selama beberapa hari. Kemudian, diputuskannyalah. Waktu luang dua jam saja akan dipakainya pergi ke salon. Potong rambut.

Pertama kali alat pencukur itu menyentuh rambutnya, kemudian terdengar olehnya suara gesekan pencukur itu dengan rambutnya, lalu dilihatnya helai-helai potongan rambutnya beterbangan ke lantai, perasaannya naik ke kerongkongan. Ia bukan seorang perasa. Namun, memotong rambut itu akan memisahkannya dari masa lalu. Dan, sekejap ia merasa ia sudah merindukan masa lalu itu. Hanya berlangsung sekejap saja. Saat berikutnya ia merasakan kebebasan. Bebas dari bayang-bayang yang melingkupinya bertahun-tahun terakhir ini. Kepalanya terasa begitu ringan, begitu juga hatinya.

“Waaah!”

Teman-temannya berteriak melihatnya. Potongan rambut barunya membuatnya kembali ke masa dua tahun lalu saat rambutnya masih pendek, sependek sekarang.

“Kamu tampak lebih muda.”

“Waw, kembali jadi anak tingkat satu, ya?”

”Kenapa tiba-tiba? Sayang sekali rambut sepanjang itu...”

”Apa kamu patah hati?”

Komentar demi komentar mampir untuknya. Ah, sudah begitu lama. Ia baru ingat ia mempunyai banyak teman. Ia hanya tersenyum, tertawa. Riang. Hatinya begitu riang.

***


Ai ai… rasanya aku jadi mendramatisir potongan rambut baruku ini. Aku punya alasan-alasan pribadi yang kusimpan dalam hati. Bukan alasan yang penting untukmu, tapi cukup bagiku untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Duh... kangen juga bikin tulisan yang aneh-aneh gini. Sudah lama sekali aku tidak membiarkan jemariku menulis atau mengetik semaunya. Ahaha... seperti biasa, ada yang nyata dari ceritaku, ada juga yang bohongan, hehe.... Jangan terlalu mudah percaya ;)

...

dan padang adalah keindahan

dengan pohon-pohon kerontang oleh kemarau,
batu-batu terserak tak bertuan,
angin yang berbisik, ilalang yang gemerisik

dan laut adalah keagungan

dengan debur ombak bergulung-gulung,
dalamnya kelam bawa rahasia,
wajah pantulkan warna langit 'nyatu di cakrawala

dan gunung adalah kegagahan

dengan golak cairan panas dalam perutnya,
sekali waktu muntah binasakan,
namun anak tercinta ibu bumi, kasih suburkan lembah

dan diri hanyalah sel-sel 'nyatu

dengan roh yang diberi lalu diambil lagi,
jiwaku pun datang kemudian pergi



-bandung, 4/9/2005, 20.20

Sunday, August 14, 2005

thiS moRninG

Jadi sering nge-blog... mumpung gratis plus ga perlu keluar rumah, hehe.... So, apa yang akan kuketikkan? Hm... tentang apa yang terlintas di otakku sejak pukul 00.38 sampai selesai nanti :)

Hari ini bangun tidur jam 8 pagi. Temanku yang baik sedang men-download Conan jilid 42 (cuma sebagian sayangnya...) sampai jilid 44 (yang ini juga cuma sebagian. Uwaa... padahal bagian yang terlewatkan dari jilid 42 cukup seru. Aku merasa terkecoh :( Pintar juga Gosho Aoyama ini mengembangkan cerita. Ah, yang bikin kesal, setelah peristiwa seru itu, gerombolan baju hitam tidak diungkit-ungkit lagi. Bosan. Kapan komik ini tamat?

Jadi kerjaanku sepanjang siang tadi adalah membaca komik. Padahal niatku tadinya hari ini bisa menyelesaikan satu subbab laporan KP. Sayangnya, malasku kumat lagi :D Sedari tadi menghadapi laptop, yang dikerjakan melulu ngegame dan ngenet :D

Omong-omong, umurku sudah 21 tahun rupanya. Baca blog teman, isinya tentang nikah. Di milis, sempat terbahas masalah nikah. Temanku menikah akhir bulan ini. Teman SMA ke-6 (kalau tidak salah) yang menikah setelah kami lulus. Membuat temanku yang lain patah hati, huh? :D

Jadi ingat. Siapa ya yang dulu nanya targetku nikah? Hm.... Sedapetnya, jawabku waktu itu. Well, misalnya pun aku punya target umur 25, kalau belum ada yang melamar ya emangnya mau menikah sama siapa? Sama rumput yang bergoyang? ...crunch. Lelucon yang ga lucu. Tapi sejujurnya, aku emang belum memikirkan itu. Jawaban klise, komentar seorang teman. Apa iya?

Baru-baru ini anak-anak jurusanku disuruh ngisi biodata (masih penasaran, emang buat apa sih?). Dua temanku, para gadis ini, berencana (ataukah sudah diisikan?) mengisi bagian 'cita-cita' dengan 'ibu rumah tangga'. Ehm, well... oke.... Lalu bagian 'ketrampilan yang ingin dikuasai' diisi dengan 'memasak dan menjahit'. Uhuk, uhuk... guys, ini biodata buat dibaca wali kalian!!! Tapi ya sudahlah.... Paling-paling wali kita mengerutkan jidatnya sedikit, lalu nyengir....

Ah ah, aku sudah 21 tahun. Waktu pulang ke Jogja dua bulan lalu, aku bertemu dua teman SMA-ku yang entah sudah berapa lama tak bertemu. Tiga orang perempuan berkumpul, ngerumpilah kami jadinya. Membicarakan kondisi masing-masing (cerita yang sungguh menarik...), teman-teman kami yang lain, kampus, kuliah, komputer (lho...). Lalu ketemu juga sama kakak-kakak kelas kami. Ngobrol, ngobrol, dan ngobrol.... Ups, sudah siang mendekati sore, perut melilit minta ransum. Oke, kita ke warung makan yang murah dan enak (uh, asiknya makan kenyang seharga 3000 rupiah di tempat yang bersih). Ngerumpi jalan terus. Dua angkatan, dua meja, terpisah tiang tembok. Meja sebelah sungguh ramai, membicarakan pekerjaan dan kesibukan. Maklum, salah satu kakak kelasku sudah menjadi dosen. Mejaku tak kalah ramai, membicarakan nikah dan keluarga :)) Maklumlah, sudah ada 5 orang teman kami yang menikah setelah lulus. Masing-masing kami saling menertawakan pembicaraan meja tetangga. Dua angkatan, hanya beda satu tahun, kenapa pembicaraan bisa begitu berbedanya?

Hm, bab menikah ini aku sudahi saja dulu. Aku ngantuk....

Saturday, August 13, 2005

aBcDeFgHiJ...

Padahal tadi udah nulis lumayan banyak... dasar sial :( Just wanna write something.... Jam di laptop ini menunjukkan saat ini pukul 12.50... ups, 00.50 WIB tanggal... 13 Agustus 2005. Hm... sepertinya ada dua temanku berulang tahun hari ini. Yow kalian berdua, selamat ulang tahun! Aku tahu kalian ga baca blog ini, tapi ada yang mengatakan, tulislah surat, kadang surat itu sampai pada orangnya tanpa diduga walau tak pernah dikirimkan.

Hm.... Masalah tulisanku yang tadi, aku malas menuliskannya lagi. Telanjur nggonduk :( Yah, mungkin kapan-kapan.... Adakah yang punya buku tentang Ahmad Wahib? Aku jadi tertarik mengenalnya lebih jauh.... Aku baru baca yang di sini, thanks buat Mpok Bina :) Cari di google belum dapat yang cukup memuaskan. Atau mungkin aku yang kurang telaten mencarinya? Waduh, payah juga...

Yah, pokoknya aku sedang ingin menulis, apapun itu. Aku memang harus menulis! Laporan KP musti selesai minggu depan, dan saat ini aku baru menyelesaikan tidak sampai separuhnya! Mentok :( Aku kembali mulai perjalanan menuju titik kejenuhan dalam menulis.

Dan kenapa blog ini malah menjadi tempat curhatku? Wah, nggak boleh nih.... Kata orang, kalau ingin sesuatu tetap menjadi rahasia, then tell no one. Kalau sudah terkatakan meski hanya pada satu orang saja, bukan rahasia lagi namanya.... :)

Ah ya, sudah pagi... pantas saja otakku ga fokus sama sekali....

Thursday, August 11, 2005

mY on-joB-tRaininG

Balongan.

Terletak sekitar 10-15 menit berkendara mobil di selatan Indramayu, sekitar 40 menit berkendara mobil di utara Cirebon (kalau pola ruangku benar, hehe...). Di salah satu tepi sepanjang jalan kenangan, sawah terhampar... hijau, kuning,... maklum baru panen. Kadang tampak permukaan laut di kejauhan, lebih sering tidak.

Di seberang jalan, satu kompleks besar dihuni oleh tangki-tangki air dan minyak, pipa-pipa berseliweran, cerobong-cerobong asap menjulang, mesin-mesin bising. Bangunan perkantoran layaknya slilit, nongol di sana-sini.

Awal kerja praktek, 'dikerjain' bagian SDM dari satu sisi kompleks ke sisi yang lain. Jalan kaki tentunya. Panas. Gerah. Tadinya kupikir aku bakal hitam legam berada di sini selama 2 bulan. Untungnya koneksi menentukan fasilitas. Rumah, mobil... :D

Bangunan tempat kami kerja praktek berjarak sekitar 30 menit berjalan kaki dari gerbang. Bengkel namanya. Mengingatkanku akan laboratorium konversi yang besar dan adem. Sama, memang. Tapi, bengkel ini lebih besar, mesinnya lebih banyak dan besar.

Kerjaan kami?

Diskusi.
Inspeksi lapangan.
Inspeksi bengkel listrik.
Ngobrol.
Ngerumpi.
Cek email.
Download komik.
Download game.
Ngegame.
Buat laporan.
:(

Apa semua kerja praktek seperti ini, atau cuma kami?
Kok rasanya seperi liburan saja?

Thursday, July 21, 2005

nOthinG...

Yep, sudah kutambahkan link buat para tjakra'ers. Ada beberapa yang ga bisa dibilang anak tjakra tapi kumasukkan ke sini... Ga papa-lah ya... Habisnya enggan kugunakan kata 'teladan'. Hehe, masalah klasik. Jawaban klasiknya juga sudah tahu-lah... Mm, pemasangan link temen-temen semua di blog ini masih tanpa izin :p Yang merasa keberatan, silakan katakan padaku :)

Yah... besok harus bangun pagi, mau jalan-jalan ke salah satu substation Pertamina. So, let's take some rest :)

Monday, July 18, 2005

undEr conStructiOn

Well, blog ini sedang dalam perbaikan... Maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan :) Link buat anak2 tjakra belum aku tambahin... Ah, anda2 sekalian pasti sudah tahu tanpa perlu aku berikan di sini, hehe...
Baru sekarang mulai utak-atik. Biasanya malas :p Karena dari sononya ga ada template buat link, terpaksa bongkar2 source orang lain dulu :)) Mana font buat title aslinya ga umum, jadinya masih pake yang biasa. Title juga belum aku bold... duh, musti buruan pulang, mau pergi lagi ke Indramayu nih... mana belum makan lagi... :(
Dadah prens :)

Friday, June 24, 2005

a BooK... agaiN

Dua minggu liburan benar-benar padat!!! Nonton film, baca buku... :D Kegiatan hedon paling nikmat nih...

Well, buku terakhir yang kubaca adalah Muhammad tulisan Karen Armstrong. Hehe... buku lama, ya maaf deh...

Menarik mengetahui bagaimana seorang Muhammad di mata non Muslim. Yah... ia berusaha menjelaskan sikap dan perbuatan Muhammad secara rasional. Untuk beberapa hal aku merasa nggak sreg, tapi ya... kupikir itu karena aku masih melihat dari kaca mata seorang Muslim. Jadi ya... okelah... aku cukup menghargai keinginannya untuk tidak menghakimi Muhammad dan Islam dari mitos-mitos mengerikan yang berkembang di kalangan yang disebutnya 'Barat Kristen'.

Dari buku ini cukup banyak informasi baru yang kuperoleh. Hm, dia melakukan cukup banyak riset. Daftar pustakanya kulihat banyak juga. Dan, ada informasi-informasi yang tidak ada dalam buku ini. Ada juga yang versinya berbeda dengan yang kutahu. Tapi, menurutku dia sudah cukup objektif. Baguslah...

Tuesday, June 14, 2005

ChoiCe

Hidup adalah tentang memilih. Tidakkah demikian? Saat memilih, akan selalu ada yang dikorbankan. Temanku pernah bilang, "Kamu harus memilih salah satu. Kamu tidak bisa memiliki dua kekasih dalam waktu yang sama."

Jadi saat aku memilih jalanku, aku telah memutuskan dan mestinya aku sadar ada beberapa hal yang harus dikorbankan. Tetapi, kenapa rasanya aku masih tidak rela mengorbankan beberapa hal? Terlalu rakus, kurasa...

Saturday, June 04, 2005

habiTs

Suatu siang di angkot...

Seorang anak perempuan, usia sekitar 4 tahun, sibuk mengulum potongan terakhir es lilinnya. Ia mengulurkan plastik bekas bungkus es lilin ke ibunya. Ibunya menunjuk ke pintu angkot. Si anak pun membuang plastik itu ke jalan melalui pintu.

Hm...

tHe caT

Kucing itu diam tepekur.

Bulunya putih, dengan sedikit coklat muda di sana-sini. Ia memejamkan matanya, tidur. Berbaring dengan tenang di atas keset depan pintu rumah. Tampak begitu hangat pada malam yang dingin setelah hujan turun seharian.

Mendengar derit pintu pagar terbuka, ia pun membuka matanya. Menatapku. Mungkin bertanya-tanya, siapakah manusia ini?

Aku hanya mematung, bingung. Kalau mau masuk rumah, aku harus mengusir kucing itu, mau tidak mau karena posisinya menyebabkan pintu tidak bisa dibuka. Tapi, aku masih tidak ingin ia pergi.

Kucing itu pun bangkit perlahan, sadar diri, kemudian beralih dari tempatnya tadi.

Aneh menyadari keberadaan seekor kucing bisa mengobati sunyi.

Friday, May 06, 2005

WRitinG

Apa begitu susahnya menulis? Bukan masalah mengetikkan huruf, mengeja kata, menyusun kalimat.... Cukup tuliskan apa yang ada di otakmu. Itu saja dulu.

Bukankah itu hal yang paling dasar dari suatu tulisan? Melakukan komunikasi. Entah itu kepada orang lain atau hanya diri sendiri. Masalah gaya tulisan, pikirkan belakangan. Masalah ejaan, pikirkan nanti. Masalah menarik atau tidak, itu terakhir saja. Berteriak dengan tulisan. Berbisik dengan tulisan. Marah dengan tulisan. Sedih dengan tulisan. Senang dengan tulisan.

Aku merasa lebih suka berbicara dengan jari daripada dengan lidah.
Penulis cerpen yang aku tahu namanya tidak banyak. Tetapi begitu masuk kuliah aku kehilangan perasaan respect pada seorang penulis cerpen yang antologi cerpennya aku beli.

Gara-garanya, ada satu paragraf dia catut utuh (!) dari karya Kahlil Gibran. Gila, dan dia tak menuliskan darimana dia mendapatkan kalimat2 dalam paragraf itu. Aku mengetahuinya karena tanpa sengaja saat aku membaca Sang Nabi, aku merasa aku pernah membacanya dalam tulisan lain.

Waktu masih SMA, seorang teman mengirimkan puisi untuk dimuat dalam majalah sekolah. Untungnya tidak jadi dimuat. Karena, tak sampai sebulan kemudian aku baru menyadari puisi itu hanyalah lirik lagu soundtrack sebuah game.

Lalu, dalam satu minggu ini, dua orang teman sekaligus menjadi plagiator.

Yang satu, sudah dimarahi seorang teman yang lain. Yang lain? Aku harus bagaimana?

Friday, April 15, 2005

a conSciOusneSs

nice days,
a beautiful life...

what else do i need?

Monday, March 21, 2005

toNight...

Adakah sunyi
yang kan 'lenyapkanku kali ini?

And, it's been deeper
isn't it?



Monday, February 14, 2005

a BooK

Mau baca Zarathustra aja kok males banget ya??? Bagian yang udah kuselesaikan baru prolog. Seterusnya: teler. Padahal ini buku mumpung nangkring di Boulevard tanpa status yang jelas :p

Dari bahasanya, aku jadi inget Sang Nabi-nya Kahlil Gibran. Satu hal yang berbeda, Zarathustra bilang Tuhan sudah mati. Tadinya aku bingung, kenapa kalau Zarathustra bilang begitu, bisa disimpulkan kalo Nietzsche itu ateis? Tapi, setelah dibaca lagi dengan teliti, ternyata Zarathustra (yang katanya berasal dari nama Zoroaster?) adalah 'kembaran' si Nietzsche. Jadi...

Aku belum mempelajari Nietzsche. Tentang apakah Nietzsche ateis atau bukan, aku belum bisa menyimpulkannya. Cara yang mendekati benar dalam menilai seseorang: baca tulisannya, ketahui dasar pemikirannya dan latar belakang hidupnya. Nietzsche ateis? Ataukah karena kehidupan beragama pada zaman dia hidup itu sudah sangat parah menurutnya? Dimana Tuhan hanya dicatut namanya untuk kepuasan pribadi? Dimana agama dipahami secara dangkal?

Kalau memang itu alasannya, seperti biasa, aku tak lagi bisa 'menyalahkan' Nietzsche. 'Tuhan sudah mati' mungkin adalah caranya mengkritik manusia-manusia beragama yang tak lagi mengamalkan ajaran agamanya. Dan, ketimbang mengaku beragama namun situasinya malah menjadi semakin tak masuk akal, lebih baik bebaskan pikiran dari ketakutan akan kemarahan Tuhan. Karena, kemarahan Tuhan saat itu dicatut untuk menakuti masyarakat. Sebagaimana terjadi pembakaran orang-orang yang dituduh sebagai tukang sihir hanya karena hal sepele yang dibuat-buat, dan mereka dibakar dengan mengatasnamakan Tuhan. Sebagaimana kasus pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai dukun santet, suatu waktu di Indonesia, di negeri yang katanya ramah dan beradab.

Aku baru baca satu sumber tentang Nietzsche, itu pun belum selesai :( Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Nietzche.

Wednesday, January 26, 2005

My HoliDay... and SomeThiNg aBoUt My JavaNesE FamiLy

Liburan semester kali ini cukup menyedihkan, mengingat nilai-nilai C bertebaran jauh lebih banyak daripada semester lalu. Padahal semester ini, aku sudah mengurangi kebiasaanku membaca novel dan komik. Aku bahkan hampir tidak pernah membaca buku-buku itu. Tetapi, sayangnya, hal ini juga berlaku untuk buku-buku kuliahku, yang berjajar di atas rak dan lemari namun masih tampak mulus karena nyaris tidak pernah dibuka, apalagi dibaca.

Menyedihkan.

Entah karena balas dendam atau apa, mungkin juga begitu, dalam tiga hari sampai beberapa menit yang lalu sebelum aku mulai mengetik ini, aku menyelesaikan membaca dua buku sekaligus karya Umar Kayam : Para Priyayi dan Jalan Menikung. Sejujurnya kukatakan, aku jauh lebih menyukai Para Priyayi ketimbang sekuelnya itu.

Dalam Para Priyayi, aku merasakan suasana Jawa yang sangat kental. Keluarga Jawa. Dialog-dialognya mengalir, sebagaimana orang-orang Jawa biasa bertutur. Aku bisa membayangkan, bahkan mungkin bisa menirukan, intonasi-intonasi dan logat yang digunakan dalam dialog-dialog itu.

Tidak hanya itu. Aku pun bisa membayangkan dengan mudah rumah tempat Sastrodarsono membangun keluarganya, yang kemudian menjadi pusat bagi seluruh keluarga besarnya. Aku bisa membayangkan keluarga Jawa seperti apa mereka. Sebagaimana aku bisa memahami apa saja yang mereka rasakan dan pikirkan.

Dengan lugas, Umar Kayam menangkap gejala-gejala sosial dalam kehidupan suatu keluarga besar berdarah Jawa, dari zaman embah buyut sampai cicit-cicitnya. Aku merasakan benar gejala-gejala itu. Mungkin karena aku mempunyai darah yang sama.

Aku bukan anggota keluarga priyayi sebagaimana dikisahkan dalam buku itu. Keluargaku adalah keturunan keluarga petani. Aku masih ingat, saat aku masih kecil, saat Embah Kakung masih cukup kuat, beliau bersama paklikku pergi ke sawah di belakang rumahnya yang masih sederhana. Rumah yang biasa saja. Di belakang rumah itu ada kandang sapi, kemudian lebih di belakang lagi ada sungai yang sangat kecil. Begitulah, aku menganggapnya sebagai sungai, padahal itu tak lebih dari sistem pengairan sawah. Soalnya, waktu itu, aku tidak pernah melihat sungai. Lagipula, air ‘sungai’ di belakang rumah Embah masih cukup bersih.

Kalau mau dibandingkan, mungkin Ayah-lah yang berperan sebagai Sastrodarsono, menjadi pendidik di keluarga petani. Tentu bukan hanya Ayah yang menjadi pendidik di keluarga sangat besar kami, toh zamannya berbeda. Namun, di tengah keluarga yang moderat inilah aku tumbuh. Kecintaan Ayah dan Ibu terhadap segala hal yang berbau Jawa masih lebih dari lumayan. Beliau berdua masih suka dengan ketoprak, wayang kulit, dan gending-gending Jawa. Bahasa Jawanya luwes dan cukup baik.

Namun, kecintaan itu tidak ditularkan pada kami, anak-anaknya. Kalaupun ada di antara kami yang menyukainya, maka itu adalah pilihannya sendiri. Hal itu bukan kewajiban. Termasuk dalam hal penguasaan bahasa. Dalam hal ini, aku memang tidak seberuntung Harimurti yang dibesarkan dalam kecintaan orang tuanya terhadap tradisi Jawa. Yah… zamannya memang berbeda.

Dan, begitulah aku. Jangan heran kalau aku sebagai orang Jawa tak lagi fasih berbahasa Jawa. Kalaupun ada di antara anak-anak orang tuaku yang menguasai kesenian Jawa, itu pastilah Kakak. Ia pandai menari Jawa. Saat kuliah, ia bergabung dengan PSTK (Perkumpulan Seni Tari dan Karawitan), salah satu unit kegiatan mahasiswa berbasis kesenian Jawa selain Loedroek di kampus. Teman-temannya kalau tidak salah menyebutnya sebagai salah satu tulang punggung dalam seni tari Jawa PSTK pada masa kejayaannya.

Adapun aku dan adikku benar-benar merupakan anak Jawa zaman sekarang. Tentu, kesederhanaan masyarakat Jawa masih melekat pada diri kami. Tentu, omongan kami masih medhok. Bagaimanapun, 15 tahun telah aku habiskan di Jogja. Tapi, tetap saja ada yang hilang. Tetap saja ada yang terasa kurang. Aku mengerti itu. Aku memahaminya sebagai salah satu gejala sosial masyarakat Jawa di tengah gempuran modernitas Barat yang telah meracuni kota-kota besar di negeri ini.

Jogja saat ini bukan lagi Jogja yang dulu. Semakin banyak bangunan didirikan, semakin banyak mobil bersliweran, semakin sumpek rasanya kotaku itu. Jogja saat ini sayangnya adalah Jogja yang gagap, yang bingung dengan identitasnya. Anak-anak muda melenggang dengan gaya ngutha walaupun masih tampak udik. Ah, untuk yang satu ini kuakui, Jogja masihlah kota udik bagaimanapun berusaha menirukan gaya metropolitan. Keramahan khas orang desa, walau meluntur, tetap bisa ditemukan di sana.

Dan, aku masih bisa merasakan saat aku mudik ke Jogja : aku pulang. Duh, Jogja yang ngangeni….

Sunday, January 23, 2005

pLacE to LivE

Tempat Hidup adalah tempat yang kau merasakan nyaman di dalamnya, tempat yang kau enggan beranjak darinya. Ia adalah tempat kau merasa benar-benar hidup. Ia tidaklah selalu sama. Bahkan, tak harus berarti suatu tempat.

Dan di dunia ini, ternyata aku masih belum menemukannya.

Hal ini baru terpikirkan olehku beberapa hari terakhir ini. Suatu malam, bercakap-cakap dengan seorang teman. Dan aku menyimpulkan dari pembicaraan itu, ia sudah menemukan Tempat Hidup. Ia merasa nyaman di sana. Ia menyukai orang-orang di sana. Ia menyukai suasananya. Dan Tempat Hidup itu pun menyukainya.

Beberapa hari setelahnya, seorang teman mengatakan ia ingin keluar dari tempat itu. Mungkin karena ia telah menemukan Tempat Hidupnya di tempat lain. Ia merasa nyaman di sana. Ia menyukai orang-orang di sana. Ia menyukai suasananya. Dan Tempat Hidup itu pun menyukainya.

Aku, bagaimana dengan Tempat Hidupku?

Aku belum menemukannya. Aku masih belum merasa nyaman dengan tempatku harus berada saat ini. Aku masih belum sangat nyaman dengan tempatku biasa berada saat ini.

Aku ingin menemukan Tempat Hidup, tempat yang membuatku nyaman tanpa memaksaku merasa nyaman. Kapan ya... ?