Thursday, September 22, 2005

my CharaCter

"Mbak, kamu bikin jadwal sampai sejauh itu??"
"Ha?"

Di dinding kamarnya, terpasang timeline selama sebulan. Penuh dengan catatan-catatan kecil dalam kolom tanggal. Mirip organizer memang, tapi yang ini terlalu rinci. Dia -yang selalu bilang bahwa dia melankolis- memandangku aneh.

"Emangnya kamu nggak, May?"

Aku menggeleng. Dulu, waktu kecil, aku pernah mencoba membuat jadwal mingguan. tapi tidak pernah bertahan lama. Entah sejak kapan, akhirnya aku hanya berusaha mengingat apa yang harus kulakukan pada tanggal tertentu. Itu pun bisa berubah. Hm....

Beberapa bulan setelahnya, dengan teman kos yang lain...

"Dek, kayaknya kamu phlegma deh...," kata temanku ini.
"Ow, aku tahu kok..."
"Tapi, campurannya apa ya?"

Setelah berpikir sebentar...

"Kayaknya aku phlegma-phlegma deh."

Kami pun tertawa. Lalu, aku jadi penasaran. Benar juga, aku belum pernah menguji kepribadianku sendiri. Aku tahu pada dasarnya kepribadian manusia merupakan perpaduan antara koleris, sanguinis, phlegmatis, dan melankolis. Aku tahu aku phlegmatis hanya dengan mendengar temanku menyebutkan ciri-cirinya. Tapi, campurannya seperti apa?

Akhirnya, belum lama ini aku meminjam buku seorang teman dan mencoba menguji diriku sendiri. Hasilnya?

Yeah... jawabanku yang dulu itu ternyata benar, bahwa aku ini phlegma-phlegma :D Begini campurannya: 62,5% phlegmatis, 15% melankolis, 12,5% sanguinis, 10% koleris. Wow! Tadinya sih sempat mengira aku ini 100% phlegmatis, hehe....

Dalam buku itu pun dijelaskan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki setiap kepribadian. Ah, pada bagian phlegmatis, aku merasa aku sedang membaca tulisan tentang diriku dari seorang yang sangat mengenal jiwaku. Dulu sempat terpikir, perasaanku yang selalu mengambang ini jangan-jangan karena aku tidak mengenal diriku sendiri. Lalu, beberapa bulan terakhir ini aku mulai menerima diriku sendiri, dan akhirnya menyimpulkan bahwa sebenarnya aku sangat mengenal diriku sejak dulu. Setelah membaca buku itu, aku tahu aku benar.

Aku bukan orang yang cakap memimpin sebagaimana umumnya orang koleris. Aku bukan orang yang suka perhatian sebagaimana umumnya orang sanguinis. Aku juga bukan orang yang teratur dengan jadwal-jadwal sebagaimana umumnya orang melankolis. Aku ya aku, yang tingkat kelembamannya besar (hehe...), yang tidak menganggap penting sangat banyak hal (ada hal lain yang jauh lebih penting ketimbang itu!), yang paling benci dengan konflik (hm...).

Untuk satu dan lain hal, aku sedang berusaha mengurangi level ke-phlegmatis-anku. Tapi, memang susah ya... mengubah diri sendiri....

Secara umum, masing-masing kepribadian bisa digambarkan sebagai berikut:
1. koleris: kuat, berjiwa pemimpin, cepat dalam mengambil keputusan, tidak terlalu membutuhkan orang lain;
2. sanguinis: populer, ceria dan tak bisa diam, kekanak-kanakan, seorang pembicara yang baik;
3. phlegmatis: tenang, lembam, tidak menyukai konflik, seorang pendengar yang baik;
4. melankolis: teratur, sensitif, mendalam, menyukai kesendirian.

Sunday, September 18, 2005

forGotten thinGs

Sedang asik melakukan ini itu dengan komputerku tersayang, tiba-tiba... lho, lho, kok, pointernya mandeg. Bolak-balik mengganti posisi keyboard dan mouse yang sama-sama memakai port PS/2 -siapa tahu portnya yang rusak seperti yang terjadi pada port serialku, hiks. Eh, ternyata keyboard jalan terus. Em... berarti emang mouse-nya minta pensiun dini. Kalau yang beginian sih aku sudah siap mental karena mouse dan keyboardku satu paket 35 ribu, hehe, merek dari negeri antah-berantah. Sayangnya aku ga juga siap cadangan. Terpaksalah, selama pengetikan tulisan ini, mouse tidak digunakan.

Sering terpikir, karena sudah seringnya menggunakan sesuatu untuk mengerjakan sesuatu hal, sampai-sampai aku ga lagi yakin aku bisa mengerjakan hal yang sama tanpanya. Dari benda-benda kecil dan remeh, sampai benda-benda canggih temuan abad 20. Nah lho. Padahal simbah kita dulu cukup puas dengan lampu teplok.


Dan kadang aku lupa menghargai hal-hal kecil nan remeh itu. Padahal ga semua orang bisa memilikinya. Temanku berkisah semalam tentang salah satu dosennya. Kalau ga salah, mata kuliah Landscape. Atau yang semacam itu-lah....

"Nah, jadi, mata kuliah Landscape ini sebenarnya adalah mata kuliah gaya hidup," kata sang dosen, kurang lebih. "Lupakan tentang bunga-bunga, taman, pohon, kolam. Ini tentang air yang kita minum, udara yang kita hirup. Hayo, siapa yang tadi pagi ngguyur hasil hajat pake air bersih, ngacung!"

Dan ngacunglah mahasiswa sekelas.

"Kalian tahu nggak kalo banyak orang ga bisa dapet air bersih?! Lain kali jangan pake air bersih! Tampung itu air hujan untuk mengguyur dan mencuci. Sekarang, siapa di antara kalian yang merokok? Ayo, ngacung!"

Dan tidak ada yang ngacung.

"Ayo ngaku, yang jujur saya kasih bonus nilai..."

Dan ngacunglah beberapa mahasiswa.

"...ya... rentang A sampai E-lah..."

Kisah sampai di sini kami pun ngakak. Pasti para mahasiswa yang ngacung tadi membatin: damn!

Begitu pun dengan energi. Energi itu ada di mana-mana. Dunia ini adalah tentang energi. Semua makhluk adalah energi. Semua benda adalah energi. Materi dan antimateri itu energi. Energi itu kekal. Tak bisa hilang. Tak bisa diciptakan. Energi hanya bisa bertransformasi dari satu bentuk energi ke bentuk energi yang lain. Jadi inget novel Angels and Demons (atau Angel and Demon?), yang mendefinisikan tuhan sebagai energi, zat yang kekal sebagai sumber energi. Seorang temannya temanku, mengartikan santet sebagai pemindahan energi.

Karena ada di mana-mana, energi mestinya murah, bahkan bebas diambil. Yang membuat energi itu mahal adalah teknologi konversi energi sehingga energi itu bisa dimanfaatkan manusia (biasanya dalam bentuk energi listrik karena mudah dan praktis). Sumber energi listrik saat ini terutama adalah energi mekanik sebagai penggerak generator. Apapun yang bergerak, apapun yang energinya bisa digunakan untuk menggerakkan, itulah yang dipakai. Air, angin, gas, serta uap yang didapat dari air yang dipanaskan dengan membakar minyak bumi dan batu bara.

Dan bahan bakar fosil pun mulai habis. Benar kata dosenku, kita ga boleh terus-terusan membakar minyak hanya untuk mendapatkan listrik. Rugi. Mending semua minyak diolah menjadi BBM. Dan dosenku ini pun berkisah.

Di satu negara maju, sang perdana menteri bingung. Mau bikin pembangkit listrik tenaga nuklir diprotes, takut radiasi. Mau bikin yang lain diprotes juga, bising katanya. Akhirnya sang perdana menteri bertanya kepada salah satu LSM yang protes.

"Kita mau bikin A ga boleh, bikin B juga ga boleh. Bagaimana kita bisa dapat listrik?"

Dan yang ditanya pun menjawab dengan ringan.

"Lho, tinggal colokin aja ke stop kontak kan dapet itu listrik."

Hopo tumon. Saking majunya sampai semua orang di negara itu bisa mendapatkan listrik dengan mudah, malah ga tau kalau yang namanya energi listrik masih tidak bisa begitu saja diambil dari alam. Walah....


Monday, September 12, 2005

JONI's promise

Pukul 12.55, aku pergi ke kampus. Rencana sudah kurancang di otak. Pukul 13.00, rapat danus kulker. Tak peduli rapat selesai atau belum, pukul 14.00 aku akan menonton Janji Joni di LFM. Biasalah, nonton gratisan plus aku belum pernah menonton film ini, kesempatan yang tidak boleh dilewatkan.

Pukul 13.05, sampai himpunan. Lho, masih sepi. Mana yang mau rapat?

"Mana rapatnya?"
"Lho, emang ga dapet jarkom?"
"Ha? Jarkom apaan?"

Intinya, jadwal rapat diubah menjadi Senin pukul 17.00. Aih, mending aku meneruskan main Pharaoh di rumah. Baru pergi ke LFM.

"Terus sekarang mau ngapain? Pulang?"
"Mm, ga deh, tanggung. Aku mau nonton Janji Joni."
"Oya? Kita juga mau nonton."
"Ow? Ya udah, bareng aja deh."
"Sip. Bentar lagi kita ke sana."
"Lah? Kan mulainya jam 2."
"Kayaknya sih ntar bakal penuh. Kita dateng duluan aja."
"Hm. OK."

Pukul 13.40, kami pun ke LFM. Lho, lho, sepi. Tidak ada yang mau nonton, atau kami terlambat? Ah, itu ada teman di LFM.

"Yo, yang di dalam baru muter film apa? Bukan Janji Joni kan?"
"Oh, bukan. Masih yang film sebelumnya."
"Janji Joni mulai jam dua bukan?"
"Harusnya sih iya. Tapi film yang ini mulainya aja jam satu."
"Heh? Harusnya kan jam dua belas."
"Iya, makanya Janji Joni juga bakal telat."

Aku berpandang-pandangan dengan ketiga temanku yang lain. Telat satu jam ya?

"Gimana? Masih lama banget. Mau nunggu di sini atau ke mana dulu kek?"
"Ya udah, kita pergi aja. Jam setengah tiga kita balik ke sini."

Seorang temanku menyerah.

"Aku pulang aja deh."
"Lah, ga mau liat?"
"Males nunggunya."
"Hm, OK."

Dia pun pulang. Tinggal kami bertiga.

"Udah liat pasar seni?"
"Belum."
"Ke sana yuk. Aku belum liat juga."
"Yuk yuk."

Melihat-lihat Ganesha Art Festival yang sepi. Ada barang yang aku ingin punya, tapi males belinya. Mahal. Duitku ludes buat bayar telepon ke Jogja. Dari Skanda, kami ke Gelap Nyawang, terus motong ke Salman karena gerimis. Beli kue dan minum untuk cemilan nonton film, baru ke kampus lagi. Belum banyak menit yang terlewat dari pukul 14.00. Ah, HP-ku...

"Ya?"
"Kalian di mana?"
"Di Salman."
"Katanya mau nonton Janji Joni?"
"Iya, emang. Tapi kan mulainya telat. Kami jalan-jalan dulu."
"Terus kapan mau ke sini?"
"Ya ini baru mau ke sana."
"Oh... ya udah. Udah dulu ya."
"Yo."

Sampai di LFM, kami bertiga cuma bisa bengong. Hah?! Antriannya sudah sepanjang ini?! Ah, itu mereka teman-teman yang tadi kami ajakin nonton waktu di himpunan. Mereka nyengir melihat kami. Duh, cowok-cowok ini, tahu antri gini bukannya ikut ngantri malah duduk-duduk di sini....

"Udah sepanjang ini?!"

Temanku yang barusan meneleponku juga cuma cengengesan. Duh, parah juga antriannya. Padahal, filmnya aja masih lama mulainya. Ya sudah, akhirnya kami malah ikutan duduk. Ngobrol nggak karuan. Ah, antrian mulai bergerak. Entah jam berapa itu. Kami pun ikut antri setelah ekor antrian hampir mencapai kursi kami. Tapi....

"Empat orang lagi!"

Hah? Padahal kami bersepuluh. Plus hitung empat itu masih jauh dari kami.

"Ah, udah deh. Mending ke tempat T dan F yang tadi nemuin N. Kita liat apakah N masih kenal T atau ga."

Kami pun ke bagian belakang LFM. Apa namanya? Ah, aku sebut saja backstage. Ah, N dan T baru ngobrol. Itu dia F. F melihat kami dan berbisik senang.

"Gue udah kenalan sama N, lho! Udah foto bareng segala."
"Oya? N inget sama T atau tadi kenalan lagi?"
"Dia inget tampang, tapi lupa nama."

Aku ngakak. Kasihan amat. Makan tuh malu. Tapi salut juga buat T, malunya kan demi teman, hehe.... Ai ai, apa tuh? Ada TV menayangkan film. Janji Joni-kah? Ah, benar, ternyata disambung ke TV ini. Aku berpandang-pandangan dengan dua temanku yang tersisa.

"Gimana? Mau nonton di sini aja?"
"Mm..."

Temanku masih ragu. Lalu kami melihat beberapa orang sudah lesehan di depan TV, nonton. Akhirnya dia pun mengangguk. Kami bersiap lesehan. Melihat kami, seorang anak LFM pergi sebentar, balik-balik membawa empat kursi lipat.

"Nih, pakai ini saja."

Kemudian dia dan teman-temannya bolak-balik datang dan pergi membawakan kami kursi lipat. Jadilah, nonton bareng Janji Joni di backstage, hehe....

Yep, sekian cerita hari ini. Ini adalah kisah perjuangan kami untuk sekedar nonton Janji Joni gratisan di LFM, Sabtu (10/9). Ah, btw, Janji Joni katanya mau diputar lagi Minggu (11/9). Damn. Kenapa nggak bilang dari tadi?

Monday, September 05, 2005

mY hairCut

Rambut ini sudah diperliharanya selama dua tahun. Panjangnya hampir mencapai pinggang. Berkali orang menyuruhnya memotong rambutnya, berulang orang mengatakan rambutnya tak bagus jika dipanjangkan. Ia pun menyadarinya. Selain rambutnya yang tak lembut dan sukar diatur, ia pun tak rajin merawat rambut. Ia keramas hanya jika kulit kepalanya sudah gatal atau rambutnya telanjur lengket di tangannya. Namun, toh ia tetap bertahan. Ada alasan pribadi yang disimpannya dalam hati. Tak ada seorang pun mengetahuinya. Alasan yang bagi orang lain hanyalah alasan konyol, tapi sangat berarti baginya. Maka, ia tak pernah mengatakannya.

Tetapi, akhir-akhir ini ia berubah pikiran. Ia ingin memotong rambutnya. Lagi-lagi alasan pribadi yang hanya disimpannya dalam hati. Tapi, untuk yang satu ini bolehlah dibilang. Alasannya hanyalah karena alasan pribadinya memanjangkan rambut telah musnah. Ia tak punya lagi alasan pribadi untuk terus memanjangkan rambutnya. Maka ia pun menimbang-nimbang selama beberapa hari. Kemudian, diputuskannyalah. Waktu luang dua jam saja akan dipakainya pergi ke salon. Potong rambut.

Pertama kali alat pencukur itu menyentuh rambutnya, kemudian terdengar olehnya suara gesekan pencukur itu dengan rambutnya, lalu dilihatnya helai-helai potongan rambutnya beterbangan ke lantai, perasaannya naik ke kerongkongan. Ia bukan seorang perasa. Namun, memotong rambut itu akan memisahkannya dari masa lalu. Dan, sekejap ia merasa ia sudah merindukan masa lalu itu. Hanya berlangsung sekejap saja. Saat berikutnya ia merasakan kebebasan. Bebas dari bayang-bayang yang melingkupinya bertahun-tahun terakhir ini. Kepalanya terasa begitu ringan, begitu juga hatinya.

“Waaah!”

Teman-temannya berteriak melihatnya. Potongan rambut barunya membuatnya kembali ke masa dua tahun lalu saat rambutnya masih pendek, sependek sekarang.

“Kamu tampak lebih muda.”

“Waw, kembali jadi anak tingkat satu, ya?”

”Kenapa tiba-tiba? Sayang sekali rambut sepanjang itu...”

”Apa kamu patah hati?”

Komentar demi komentar mampir untuknya. Ah, sudah begitu lama. Ia baru ingat ia mempunyai banyak teman. Ia hanya tersenyum, tertawa. Riang. Hatinya begitu riang.

***


Ai ai… rasanya aku jadi mendramatisir potongan rambut baruku ini. Aku punya alasan-alasan pribadi yang kusimpan dalam hati. Bukan alasan yang penting untukmu, tapi cukup bagiku untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Duh... kangen juga bikin tulisan yang aneh-aneh gini. Sudah lama sekali aku tidak membiarkan jemariku menulis atau mengetik semaunya. Ahaha... seperti biasa, ada yang nyata dari ceritaku, ada juga yang bohongan, hehe.... Jangan terlalu mudah percaya ;)

...

dan padang adalah keindahan

dengan pohon-pohon kerontang oleh kemarau,
batu-batu terserak tak bertuan,
angin yang berbisik, ilalang yang gemerisik

dan laut adalah keagungan

dengan debur ombak bergulung-gulung,
dalamnya kelam bawa rahasia,
wajah pantulkan warna langit 'nyatu di cakrawala

dan gunung adalah kegagahan

dengan golak cairan panas dalam perutnya,
sekali waktu muntah binasakan,
namun anak tercinta ibu bumi, kasih suburkan lembah

dan diri hanyalah sel-sel 'nyatu

dengan roh yang diberi lalu diambil lagi,
jiwaku pun datang kemudian pergi



-bandung, 4/9/2005, 20.20