Thursday, October 19, 2017

cOLOurs

Someone said that my writings change. Duluuu... bahasa dan bahasannya menarik. Sekaraaang... sooo booorrriiiing!
Hadoh, tertohok sayah.

Jadilah saya melakukan analisa. Tulisan yang dia bilang menarik itu kira-kira ketika saya masih sangat muda *eh umur saya 17 tahun loh sekarang *denial*. Alias ketika saya masih kuliah. 

Sementara tulisan yang sooo booorrriiiing itu ketika saya sudah cukup tenggelam dalam pekerjaan. 

So I think I did change. I do change. Sama seperti saya dulu paling enggan menyuruh orang. Sekarang pun masih. Tapi saya sudah lebih percaya diri... dalam menyuruh orang, hahahaa... Tuntutan pekerjaan kali ya.

Dulu saya paling hobi warna hijau. Sekarang pun masih. Tapi sekarang saya juga suka warna oranye. Dulu saya sangat anti warna merah dan kuning. Sekarang saya tidak terlalu khawatir menggunakannya, tentunya dengan shade (apa padanannya ya) yang tidak mencolok. 

Saya percaya teori kesukaan seseorang terhadap warna menggambarkan karakter orang tersebut. Karena warna kesukaan saya bertambah, saya berteori karakter saya pun sepertinya memang berubah ya.

~@Adriana, 171019~

Wednesday, October 11, 2017

StuPidiTy CosTs.... Part 2

September 15, I woke up at 4 a.m., did packing, took a bath, did praying, then checked-out at 6 a.m. 

I went to Kannai station, the nearest JR stations from my hotel, to take the Yokohama line to go to Shin-Yokohama station. Trains came one after another. Wait a minute, why were they all Keihin-Tohoku line? Well, OK, I'll just wait at Yokohama station, maybe the first train departs from the central station, I thought. So I took the Keihin-Tohoku line to Yokohama station. 

But again, trains came one after another, none of them were Yokohama line. Why oh why.....? I came to an officer to ask about the Yokohama line timetable (why didn't I do it two days before???). He just told me to wait at line 4 (well, I already at line 4 for about 1 hour!). Then after some time wandering around, finally I found an information center. Guess what, the first train of Yokohama line departed at 8.39 a.m. from Yokohama station. Darn! I missed my shinkansen train, and since it was a long weekend all the unreserved seats were already occupied. First stupidity cost me 1.5 hours standing in the Shinkansen train from Shin-Yokohama until Nagoya. 

I arrived at Shin-Osaka station, thinking I'd keep my luggage in Osaka station. Then I thought to keep it at subway station near the Osaka Castle. But then, I didn't find any coin locker! Argh! I brought my backpack with me wandering around Osaka Castle! Second stupidity cost me a very tired body. Luckily, there was a luggage storage room near the Osaka Castle ticket vending machine. Thank God!

From Osaka Castle, I then walked to Tenmangu shrine through Tenjinbashi-suji shopping street. I don't recommend you walking from one end to another, it's a very long shopping street, it will cost you broken legs! Ah well, I thought my legs were broken, third stupidity.

I went back to JR Osaka station using the subway line. Just before I bought a ticket, a nice lady came to me and handed me over a ticket. I didn't check the ticket, and I didn't understand what she was trying to say, so I still bought a ticket. In the train then I checked it. It seemed like a one-day ticket, then I realized the lady didn't use it anymore since it was at the end of the day, so she gave it to anyone looked like he/she was going to buy a ticket. In this case, me. Well, fourth stupidity cost me 230 yen, the pass was only valid for subway trains.

Arrived at Osaka station, I then jumped to whatever train said bound to Kyoto. Reached Kyoto about 30 minutes later, around 8 p.m. Then I took a bus to Imagumano bus-stop. My fifth stupidity was that I didn't ask to be picked-up. It was an 8-minutes walking up the "hill" and cost me not only broken legs, but also broken shoulders!

Aside from that, the hostel was very convenient.

... (to be continued) 

Sunday, September 23, 2012

StuPidiTy CosTs.... Part 1

I went for a long-awaited trip, that was 3-days Kansai trip. First day, Osaka. Second day, Kyoto. Third day, Nara. The itinerary was quite simple as I went alone, so I just planned it roughly. Lost is part of the fun, they said. 

I arrived at Yokohama on September 9. Being told that the next weekend would be a long-weekend (Happy Monday system by Japanese law), I thought, hey, maybe I can go to Kansai. So that day I browsed all day about going to Kansai.

My only problem was I wasn't prepared for this trip. I brought with me a huge luggage and a standard backpack. I didn't (and still don't, haha) have a credit card, which I found later it could be very useful to reserve this and that.

I asked my friend if it was possible to store my huge luggage somewhere instead of bringing it along. She suggested coin locker. Well, I saw some coin lockers at some stations, but they were usually small and medium size. After I googled it, I was still in doubt that my luggage could fit in the big size one, not to mention that only few could be found in large substations. If I was lucky enough to find it, there's very big chance that it's already occupied and I would have to bring it everywhere. So I googled more. I found an alternative, check it here. The other alternative was just to keep it at the hotel if possible.

September 10, I googled for night-bus from Yokohama to either Osaka or Kyoto. I found Willer Express. He needed credit card for online reservation. I also looked for probable accommodation in agoda website. They also needed credit card. Darn. 

I then picked some places I thought interesting and browsed for Osaka subway route map and Kyoto subway route map. 

September 11, I still hesitated buying shinkansen tickets because my friend told me that she bought night-bus ticket for only 5000 yen (compared to a 13,000 shinkansen ticket, yes it was a lot more cheaper). So I went to JR ticket office at Yokohama station. Guess what, he told me to order by phone. So I came back empty-handed. I googled and JR said their night-bus tickets for September 14 were sold-out. Bah.

September 12, once again I googled for the accommodation, now in booking.com website. Then I found it. There were apparently few hostels or guest houses didn't require credit card for online reservation. But by the time I knew, only one guest house suitable for me, and it was a dormitory room for 6 persons with bunk beds. The guest house name was HennkaWell, I took it. 

September 13, I (finally!) bought shinkansen tickets, reserved seats, September 15 for 8:06 departure from Shin-Yokohama, and September 17 for 15:17 departure from Kyoto. Hurray, I thought. I also informed hotel staff that I would like to check-out on September 15, then check-in again on September 17, and if it was possible to keep my luggage at the hotel. She said OK. More hurray, I thought.

September 14, I still didn't do packing.

... (to be continued)

Wednesday, September 07, 2011

mY coLLage

Haha, Firefox designed a collage for me :D


Pretty, yes? Check it out at http://bit.ly/qIxLtA.


@Grey, September 7, 2011  

Saturday, June 18, 2011

Pengguna Jalan di Jakarta Paling Tak Bahagia di Dunia

Tadi pagi saya menemukan artikel menarik.

http://id.berita.yahoo.com/pengguna-jalan-di-jakarta-paling-tak-bahagia-di-054903466.html.

Can't more agree.



@Grey, June 18, 2011  

Monday, May 02, 2011

reLiGion

Agama. Salah satu isu privasi sensitif dalam kehidupan publik. 

Saya pernah diajarkan mengenai fanatisme beragama. Kata guru agama saya, fanatik itu perlu. Karena fanatisme adalah meyakini bahwa agamanya yang benar. Beragama tanpa bersikap fanatik layaknya makan sayur tanpa garam, hambar rasanya. Karena ini masalah keyakinan. Kalau tidak fanatik, lalu untuk apa beragama?

Fanatisme seharusnya adalah privasi. Yang menjadi masalah adalah ketika fanatisme itu bertabrakan dengan fanatisme orang-orang di sekitarnya.

Maka yang terjadi adalah bentrok. Fisik. Lisan. Tulisan. Seandainya orang mengerti bahwa kata-kata bisa lebih kejam daripada sebilah pedang.

Jangan salahkan agamanya. Salahkan orang yang tidak memahami agamanya sendiri, bahkan mengajarkan ketidakpahamannya kepada orang lain. 


@Grey, May 2, 2011 

tranSforMer

Transformator (transformer) atau disebut juga trafo adalah peralatan listrik yang biasanya terdiri dari dua lilitan dan satu inti untuk mentransformasi tegangan atau arus dari lilitan satu ke lilitan yang lain. Dasarnya adalah hukum Faraday.

Pada trafo ideal, rasio lilitan akan sebanding dengan rasio tegangan, dan berbanding terbalik dengan rasio arus. Kenyataannya, tidak ada trafo ideal karena pada material pasti ada resistansi. Fluks magnetik juga tidak seluruhnya dapat "ditangkap" oleh inti dan ditransformasi kembali ke lilitan kedua. Sehingga akan selalu ada daya yang hilang. Pada trafo tegangan (voltage transformer/potential transformer) dan trafo daya (power transformer), yang dipentingkan adalah rasio tegangan input dan output. Sementara pada trafo arus (current transformer), fokusnya adalah rasio arus masukan dan keluaran.

Yang akan saya diskusikan di sini adalah bagaimana menentukan kapasitas trafo daya. Trafo daya digunakan pada jaringan distribusi listrik, di mana umumnya digunakan untuk mengubah sistem tegangan satu ke sistem tegangan yang lain.

Tidak terlalu susah menentukan kapasitas trafo di mana beban-bebannya bersifat statis, seperti sistem penerangan atau sistem pemanas. Cukup hitung total beban, dan tambahkan sekitar 10%-20% sesuai perkiraan penambahan beban di masa mendatang.

Trafo daya yang bebannya berupa motor-motor listrik memerlukan perhitungan yang sedikit lebih rumit. Selain perkiraan penambahan beban di masa mendatang, kita harus memperhitungkan kapasitas motor stand-by terbesar yang mungkin di-start. Perhatikan bahwa start motor akan menarik arus yang besar. Saat start motor, faktor daya motor biasanya sekitar 0,2. Hitung daya motor terbesar saat start, lalu jumlahkan dengan kapasitas semua beban lain. Kita akan mendapatkan kapasitas minimum trafo daya.

Jika kapasitas motor terbesar ini cukup besar dibandingkan dengan jumlah beban, kita perlu memperhatikan tegangan jatuh saat motor terbesar itu start. Kurvanya bisa dilihat di IEEE 141 (red book). Jika jatuh tegangan terlalu besar, perbesar kapasitas trafonya.


@Grey, May 2, 2011

Sunday, February 20, 2011

buSineSS (3)

Banyak karyawan, terkadang karena PHK, terkadang karena bosan dimarahi atasannya, terkadang jenuh dengan pekerjaannya, atau dengan alasannya masing-masing, akhirnya membuka usaha sendiri. Saya menaruh hormat kepada orang-orang ini, karena mereka kreatif dan berani, dua hal yang belum saya miliki sampai saat ini, hehe... Anyway, banyak anggapan mereka sudah memasuki kuadran B. Robert T Kiyosaki dalam bukunya menyatakan: belum tentu.

Seseorang yang membuka usaha sendiri, kemudian mempunyai keterlibatan yang terlalu besar dalam usahanya itu, belum bisa dikatakan telah memasuki kuadran B. Sangat besar kemungkinannya ia masih berada di kuadran S. Seorang B adalah orang yang dapat mendelegasikan bisnisnya kepada orang lain. Sementara seorang S tidak dapat mendelegasikan bisnisnya kepada orang lain. Kembali pada pengetesan yang pernah saya sebutkan dalam posting sebelum ini: jika ia tidak terlibat dalam bisnisnya setahun, apakah bisnisnya hancur, ataukah bisnisnya berkembang?

Nah, seorang B bisa berangkat dari seorang S. Misalnya, awalnya seseorang membuka usaha sendiri. Lambat laun, ia mulai mempercayakan bisnisnya kepada seseorang yang menurutnya mampu menjalankan bisnis tersebut. Lalu, ia pun mulai membuka cabang di tempat lain dan mempercayakan pengelolaannya kepada seseorang yang menurutnya mampu. Lalu, di tempat lainnya lagi. Dan di tempat lainnya lagi. Dalam hal ini ia telah menjadi seorang B.

Seorang B yang baik memahami sistem yang diperlukan untuk menjalankan bisnisnya. Sistem suplai bahan baku. Sistem distribusi. Sistem pemasaran. Sistem akuntansi. Sistem hukum. Dan lain-lain.

Selanjutnya Robert T Kiyosaki membahas investor. Seperti saya pernah sebutkan dalam posting saya sebelum ini, seorang B bisa menjadi seorang I yang baik karena ia mempunyai kemampuan yang diperlukan seorang I.

Setelah membaca bukunya yang lain, menurut saya si penulis sebenarnya membidik warga Amerika Serikat dan rencana pensiun karyawannya. Sejauh yang saya tangkap, karyawan di Amerika Serikat saat buku itu ditulis (saya kurang tahu bagaimana kondisi saat ini) di"paksa" oleh Undang-undang untuk menginvestasikan dana pensiunnya dalam investasi-investasi seperti saham atau reksadana, dan di"paksa" untuk baru mengambilnya setelah mereka pensiun. Yang menjadi masalah adalah ketika jumlah karyawan yang pensiun sangat besar pada saat yang hampir bersamaan. Ia memperkirakan para pensiunan ini akan menjual investasinya secara hampir bersamaan pula, menyebabkan pasar saham anjlok. Mungkin tidak terlalu menjadi masalah bagi karyawan yang masih bekerja. Masalahnya adalah bagi para pensiunan itu sendiri, karena dana pensiun mereka -atau penghasilan mereka- ada di pasar yang anjlok, bisa dibilang mereka akan kehilangan dana pensiun itu. Sementara pensiunan memerlukan dana untuk kebutuhan sehari-hari dan kesehatan mereka.

Si penulis  juga menyoroti bahwa "keterpaksaan" menjadi investor ini tidak dibarengi dengan pendidikan finansial di sekolah-sekolah, sehingga para investor dadakan ini berinvestasi tanpa kecerdasan finansial. Mereka berinvestasi dengan arahan orang-orang yang akan mendapat keuntungan dari investasi mereka. Dan ini sangat riskan.

Karena itulah si penulis mengajukan alternatif bagaimana menjadi seorang I dengan aman bagi seorang E dan S. Yaitu dengan menjadi seorang B terlebih dahulu. Atau setidaknya, belajarlah dulu mengenai investasi!

Penerapannya di Indonesia? Well, meskipun rencana pensiun di Indonesia berbeda dengan rencana pensiun di Amerika Serikat, toh poin-poinnya tetap bisa diterapkan di sini. Jangan main-main dengan investasi Anda, karena itu adalah uang Anda. Jadi pelajarilah dulu resiko-resikonya. Jika Anda ingin berbisnis, belajarlah dan berbisnislah. Apa yang akan Anda dapatkan sebanding dengan apa yang akan Anda usahakan :)

@Grey, February 20, 2011