Seorang teman mengirimkan email ke milis menanyakan maksud sebuah paragraf yang dikritik dalam kolom bahasa satu surat kabar Indonesia. Begini paragraf yang dimaksudkannya:
"Jika diskursivitas cenderung pada narsisisme pikiran, maka narasi empatis dalam kritik akan mencairkan kemampatan dan koersivitas opini, dengan cara terus mengayuhkan seluruh muatan nalar dalam tulisan ke wilayah ayunan leksikalnya, untuk menunjukkan kekenyalan dan keleluasaan imajinatif tulisan."
Saya pernah "bermain" (tidak sampai berkecimpung dan berkubang sepenuhnya) di dunia jurnalistik, total sekitar 5 tahun dihitung sejak saya masuk sie jurnalistik di SMA saya. Saya tahu orang-orang pers adalah orang terdepan menghadapi bahasa dan perkembangannya, tentu saja selain sastrawan dan kritikus sastra. Tetapi, bahkan sampai saat ini pun, saya paling menghindari keharusan menggunakan (dan membaca, dan mendengar) kata-kata yang saya sebut sebagai kata-katanya "bahasa dewa".
Saya masih menganggap bahasa adalah alat komunikasi. Bahasa lisan, bahasa tulis, bahasa tubuh. Saat komunikator tak mampu menyampaikan maksudnya kepada komunikan, saat itu juga bahasa gagal memenuhi fungsinya.
Bahasa menunjukkan bangsa. Namun, alangkah baiknya jika bangsa tidak merasa asing dengan bahasanya sendiri.
@Avalanche, 2:13 PM 11/8/2006 minus satu jam