Banyak karyawan, terkadang karena PHK, terkadang karena bosan dimarahi atasannya, terkadang jenuh dengan pekerjaannya, atau dengan alasannya masing-masing, akhirnya membuka usaha sendiri. Saya menaruh hormat kepada orang-orang ini, karena mereka kreatif dan berani, dua hal yang belum saya miliki sampai saat ini, hehe... Anyway, banyak anggapan mereka sudah memasuki kuadran B. Robert T Kiyosaki dalam bukunya menyatakan: belum tentu.
Seseorang yang membuka usaha sendiri, kemudian mempunyai keterlibatan yang terlalu besar dalam usahanya itu, belum bisa dikatakan telah memasuki kuadran B. Sangat besar kemungkinannya ia masih berada di kuadran S. Seorang B adalah orang yang dapat mendelegasikan bisnisnya kepada orang lain. Sementara seorang S tidak dapat mendelegasikan bisnisnya kepada orang lain. Kembali pada pengetesan yang pernah saya sebutkan dalam posting sebelum ini: jika ia tidak terlibat dalam bisnisnya setahun, apakah bisnisnya hancur, ataukah bisnisnya berkembang?
Nah, seorang B bisa berangkat dari seorang S. Misalnya, awalnya seseorang membuka usaha sendiri. Lambat laun, ia mulai mempercayakan bisnisnya kepada seseorang yang menurutnya mampu menjalankan bisnis tersebut. Lalu, ia pun mulai membuka cabang di tempat lain dan mempercayakan pengelolaannya kepada seseorang yang menurutnya mampu. Lalu, di tempat lainnya lagi. Dan di tempat lainnya lagi. Dalam hal ini ia telah menjadi seorang B.
Seorang B yang baik memahami sistem yang diperlukan untuk menjalankan bisnisnya. Sistem suplai bahan baku. Sistem distribusi. Sistem pemasaran. Sistem akuntansi. Sistem hukum. Dan lain-lain.
Selanjutnya Robert T Kiyosaki membahas investor. Seperti saya pernah sebutkan dalam posting saya sebelum ini, seorang B bisa menjadi seorang I yang baik karena ia mempunyai kemampuan yang diperlukan seorang I.
Setelah membaca bukunya yang lain, menurut saya si penulis sebenarnya membidik warga Amerika Serikat dan rencana pensiun karyawannya. Sejauh yang saya tangkap, karyawan di Amerika Serikat saat buku itu ditulis (saya kurang tahu bagaimana kondisi saat ini) di"paksa" oleh Undang-undang untuk menginvestasikan dana pensiunnya dalam investasi-investasi seperti saham atau reksadana, dan di"paksa" untuk baru mengambilnya setelah mereka pensiun. Yang menjadi masalah adalah ketika jumlah karyawan yang pensiun sangat besar pada saat yang hampir bersamaan. Ia memperkirakan para pensiunan ini akan menjual investasinya secara hampir bersamaan pula, menyebabkan pasar saham anjlok. Mungkin tidak terlalu menjadi masalah bagi karyawan yang masih bekerja. Masalahnya adalah bagi para pensiunan itu sendiri, karena dana pensiun mereka -atau penghasilan mereka- ada di pasar yang anjlok, bisa dibilang mereka akan kehilangan dana pensiun itu. Sementara pensiunan memerlukan dana untuk kebutuhan sehari-hari dan kesehatan mereka.
Si penulis juga menyoroti bahwa "keterpaksaan" menjadi investor ini tidak dibarengi dengan pendidikan finansial di sekolah-sekolah, sehingga para investor dadakan ini berinvestasi tanpa kecerdasan finansial. Mereka berinvestasi dengan arahan orang-orang yang akan mendapat keuntungan dari investasi mereka. Dan ini sangat riskan.
Karena itulah si penulis mengajukan alternatif bagaimana menjadi seorang I dengan aman bagi seorang E dan S. Yaitu dengan menjadi seorang B terlebih dahulu. Atau setidaknya, belajarlah dulu mengenai investasi!
Penerapannya di Indonesia? Well, meskipun rencana pensiun di Indonesia berbeda dengan rencana pensiun di Amerika Serikat, toh poin-poinnya tetap bisa diterapkan di sini. Jangan main-main dengan investasi Anda, karena itu adalah uang Anda. Jadi pelajarilah dulu resiko-resikonya. Jika Anda ingin berbisnis, belajarlah dan berbisnislah. Apa yang akan Anda dapatkan sebanding dengan apa yang akan Anda usahakan :)
@Grey, February 20, 2011