Saturday, December 23, 2006

GlenyenGan

Bulan lalu adalah bulan panen buku. Bursa buku, pameran buku... Alhasil aku punya banyak buku lama tapi baru, atau baru tapi lama. Terbitan lama, tapi baru aku beli. Atau, aku baru beli buku terbitan lama. Ya ya... whatever...

Dan alhasil, bulan ini adalah bulannya mabuk baca buku, hahaha....

Salah satu buku yang langsung aku sambar begitu kutemukan di pameran adalah Sugih Tanpa Banda
, made by (alm) Umar Kayam. Uh... I really miss those characters: Pak Ageng, Mr Rigen dalah Ms Nansiyem beserta dua bedhes-nya, Prop Lemahamba dan Prop Prasodjo Legowo, plus Pak Joyo penjaja penggeng eyem. Waktu SD, kolom Umar Kayam ini adalah salah satu favoritku di SKH Kedaulatan Rakyat langganan keluargaku waktu itu, salah satu koran lokal yang cukup kuat menancapkan dominasinya di Jogja (menurutku pribadi sih, hehe...), selain cerbung SH Mintardja yang judulnya Api di Bukit Menoreh, or something like that (mohon maaf, ingatan lemah). Pokoknya kalau udah Selasa (atau Rabu, atau Kamis?), mataku langsung mencari kolom Umar Kayam di halaman pertama kolom paling kiri.

Yah, buku Sugih Tanpa Banda adalah kumpulan kedua kolom Umar Kayam dari awal 1991 sampai tahun baru 1994. Bagaimana sukanya aku pada tulisan Umar Kayam mungkin karena Umar Kayam pinter ngomong hal berat dengan cara yang ringan yang, kalau kata Sapardi di pengantarnya, disebut glenyengan. Menyindir khas Jawa. Mengingatkan khas Jawa. Memarahi khas Jawa. Dilakukan oleh rakyat kecil, wong cilik, termasuk untuk para priyagungnya, untuk para pemimpinnya. Dan kalau para priyagungnya ini orang Jawa, disindir, diingatkan, dimarahi sehalus apapun, ya seharusnya merasa dan memperbaiki diri. Di sinilah seninya orang Jawa, yang tidak mau mempermalukan orang lain, apalagi priyagungnya. Di sinilah seninya orang Jawa, yang dihina-dina orang-orang bukan Jawa dan orang-orang modern, karena membuat segalanya terasa begitu rumit dan repot. Kalau mau bilang itu salah ya bilang saja itu salah, tidak usah ngalor ngidul....

Lha mungkin para priyagung Jawa ini sudah hilang rasa-nya ya? Entah mengapa. Apakah para priyagung Jawa saat ini tidak pernah dilatih menjadi priyagung, dalam hal bagaimana dia mendengarkan suara rakyat, vox populi istilahnya? Semar, sang dewa yang turun ke bumi, mungkin tidak akan sabar berhadapan dengan priyagung zaman modern, yang tidak punya kepekaan sosial apa pun, lain halnya dengan Pandawa yang menjadi majikan Sang Semar di dunia.

Mungkin memang sudah saatnya glenyengan disimpan dalam memori masyarakat Jawa, untuk sewaktu-waktu saja dilontarkan sebagai pengingat budaya.

Hm...


Saturday, December 16, 2006

PANCASILA

Uh... rasanya sudah bertahun-tahun yang lalu terakhir aku mendengar kata ini. Apakah anak SD sekarang masih mengenali PANCASILA? Kenapa aku meragukannya?

Lalu, apakah
PANCASILA itu? Masih ingat nggak bunyi ke-45 butir PANCASILA (belum nambah lagi kan butir-butirnya?). Ada tenggang rasa, ada musyawarah, ada adil, ada ini, ada itu... uh, sudah lupa....

Lalu, sejauh manakah nilai-nilai
PANCASILA itu meresap dalam daging dan tulang manusia Indonesia saat ini? Ataukah PANCASILA masih sebatas hafalan dalam batok kepala yang sewaktu-waktu digunakan dalam keadaan darurat, misalnya THB dan EBTANAS, dan enggan keluar untuk menemui kehidupan nyata?

Karena, seandainya memang
PANCASILA itu pondasi negara Indonesia, mengapa rakyat Indonesia sendiri enggan mengaplikasikannya? Perlukah perubahan drastis PANCASILA?

Ataukah, rakyat Indonesia memang belum merdeka?