Wednesday, January 26, 2005

My HoliDay... and SomeThiNg aBoUt My JavaNesE FamiLy

Liburan semester kali ini cukup menyedihkan, mengingat nilai-nilai C bertebaran jauh lebih banyak daripada semester lalu. Padahal semester ini, aku sudah mengurangi kebiasaanku membaca novel dan komik. Aku bahkan hampir tidak pernah membaca buku-buku itu. Tetapi, sayangnya, hal ini juga berlaku untuk buku-buku kuliahku, yang berjajar di atas rak dan lemari namun masih tampak mulus karena nyaris tidak pernah dibuka, apalagi dibaca.

Menyedihkan.

Entah karena balas dendam atau apa, mungkin juga begitu, dalam tiga hari sampai beberapa menit yang lalu sebelum aku mulai mengetik ini, aku menyelesaikan membaca dua buku sekaligus karya Umar Kayam : Para Priyayi dan Jalan Menikung. Sejujurnya kukatakan, aku jauh lebih menyukai Para Priyayi ketimbang sekuelnya itu.

Dalam Para Priyayi, aku merasakan suasana Jawa yang sangat kental. Keluarga Jawa. Dialog-dialognya mengalir, sebagaimana orang-orang Jawa biasa bertutur. Aku bisa membayangkan, bahkan mungkin bisa menirukan, intonasi-intonasi dan logat yang digunakan dalam dialog-dialog itu.

Tidak hanya itu. Aku pun bisa membayangkan dengan mudah rumah tempat Sastrodarsono membangun keluarganya, yang kemudian menjadi pusat bagi seluruh keluarga besarnya. Aku bisa membayangkan keluarga Jawa seperti apa mereka. Sebagaimana aku bisa memahami apa saja yang mereka rasakan dan pikirkan.

Dengan lugas, Umar Kayam menangkap gejala-gejala sosial dalam kehidupan suatu keluarga besar berdarah Jawa, dari zaman embah buyut sampai cicit-cicitnya. Aku merasakan benar gejala-gejala itu. Mungkin karena aku mempunyai darah yang sama.

Aku bukan anggota keluarga priyayi sebagaimana dikisahkan dalam buku itu. Keluargaku adalah keturunan keluarga petani. Aku masih ingat, saat aku masih kecil, saat Embah Kakung masih cukup kuat, beliau bersama paklikku pergi ke sawah di belakang rumahnya yang masih sederhana. Rumah yang biasa saja. Di belakang rumah itu ada kandang sapi, kemudian lebih di belakang lagi ada sungai yang sangat kecil. Begitulah, aku menganggapnya sebagai sungai, padahal itu tak lebih dari sistem pengairan sawah. Soalnya, waktu itu, aku tidak pernah melihat sungai. Lagipula, air ‘sungai’ di belakang rumah Embah masih cukup bersih.

Kalau mau dibandingkan, mungkin Ayah-lah yang berperan sebagai Sastrodarsono, menjadi pendidik di keluarga petani. Tentu bukan hanya Ayah yang menjadi pendidik di keluarga sangat besar kami, toh zamannya berbeda. Namun, di tengah keluarga yang moderat inilah aku tumbuh. Kecintaan Ayah dan Ibu terhadap segala hal yang berbau Jawa masih lebih dari lumayan. Beliau berdua masih suka dengan ketoprak, wayang kulit, dan gending-gending Jawa. Bahasa Jawanya luwes dan cukup baik.

Namun, kecintaan itu tidak ditularkan pada kami, anak-anaknya. Kalaupun ada di antara kami yang menyukainya, maka itu adalah pilihannya sendiri. Hal itu bukan kewajiban. Termasuk dalam hal penguasaan bahasa. Dalam hal ini, aku memang tidak seberuntung Harimurti yang dibesarkan dalam kecintaan orang tuanya terhadap tradisi Jawa. Yah… zamannya memang berbeda.

Dan, begitulah aku. Jangan heran kalau aku sebagai orang Jawa tak lagi fasih berbahasa Jawa. Kalaupun ada di antara anak-anak orang tuaku yang menguasai kesenian Jawa, itu pastilah Kakak. Ia pandai menari Jawa. Saat kuliah, ia bergabung dengan PSTK (Perkumpulan Seni Tari dan Karawitan), salah satu unit kegiatan mahasiswa berbasis kesenian Jawa selain Loedroek di kampus. Teman-temannya kalau tidak salah menyebutnya sebagai salah satu tulang punggung dalam seni tari Jawa PSTK pada masa kejayaannya.

Adapun aku dan adikku benar-benar merupakan anak Jawa zaman sekarang. Tentu, kesederhanaan masyarakat Jawa masih melekat pada diri kami. Tentu, omongan kami masih medhok. Bagaimanapun, 15 tahun telah aku habiskan di Jogja. Tapi, tetap saja ada yang hilang. Tetap saja ada yang terasa kurang. Aku mengerti itu. Aku memahaminya sebagai salah satu gejala sosial masyarakat Jawa di tengah gempuran modernitas Barat yang telah meracuni kota-kota besar di negeri ini.

Jogja saat ini bukan lagi Jogja yang dulu. Semakin banyak bangunan didirikan, semakin banyak mobil bersliweran, semakin sumpek rasanya kotaku itu. Jogja saat ini sayangnya adalah Jogja yang gagap, yang bingung dengan identitasnya. Anak-anak muda melenggang dengan gaya ngutha walaupun masih tampak udik. Ah, untuk yang satu ini kuakui, Jogja masihlah kota udik bagaimanapun berusaha menirukan gaya metropolitan. Keramahan khas orang desa, walau meluntur, tetap bisa ditemukan di sana.

Dan, aku masih bisa merasakan saat aku mudik ke Jogja : aku pulang. Duh, Jogja yang ngangeni….

Sunday, January 23, 2005

pLacE to LivE

Tempat Hidup adalah tempat yang kau merasakan nyaman di dalamnya, tempat yang kau enggan beranjak darinya. Ia adalah tempat kau merasa benar-benar hidup. Ia tidaklah selalu sama. Bahkan, tak harus berarti suatu tempat.

Dan di dunia ini, ternyata aku masih belum menemukannya.

Hal ini baru terpikirkan olehku beberapa hari terakhir ini. Suatu malam, bercakap-cakap dengan seorang teman. Dan aku menyimpulkan dari pembicaraan itu, ia sudah menemukan Tempat Hidup. Ia merasa nyaman di sana. Ia menyukai orang-orang di sana. Ia menyukai suasananya. Dan Tempat Hidup itu pun menyukainya.

Beberapa hari setelahnya, seorang teman mengatakan ia ingin keluar dari tempat itu. Mungkin karena ia telah menemukan Tempat Hidupnya di tempat lain. Ia merasa nyaman di sana. Ia menyukai orang-orang di sana. Ia menyukai suasananya. Dan Tempat Hidup itu pun menyukainya.

Aku, bagaimana dengan Tempat Hidupku?

Aku belum menemukannya. Aku masih belum merasa nyaman dengan tempatku harus berada saat ini. Aku masih belum sangat nyaman dengan tempatku biasa berada saat ini.

Aku ingin menemukan Tempat Hidup, tempat yang membuatku nyaman tanpa memaksaku merasa nyaman. Kapan ya... ?